Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara soal sikap pemerintah terhadap wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Jokowi mengatakan bahwa pemerintah belum berencana mendorong revisi UU Peradilan Militer.
"Belum, belum sampai ke sana," kata Jokowi kepada wartawan di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta Selatan, Selasa (8/8/2023).
Advertisement
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai revisi atau penyempurnaan terhadap sebuah undang-undang merupakan hal yang wajar, termasuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Saya kira tentang revisi undang-undang itu, revisi memang menjadi biasa lah. Saya kira Undang-Undang 31 itu akan mengalami hal yang sama, ada hal-hal yang perlu disempurnakan (agar) lebih sesuai dengan tuntutan keadaan," kata Wapres.
Hal itu disampaikan Wapres usai menghadiri Pengukuhan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) Provinsi Kalimantan Timur, di Odah Etam, Kompleks Kantor Gubernur Kalimantan Timur, Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat.
Oleh karenanya, Wapres mengatakan, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md bahwa pemerintah akan mempertimbangkan revisi UU Peradilan Militer dengan memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang merupakan hal tepat.
Menurutnya, proses revisi tersebut perlu berlanjut karena ketentuan-ketentuan dalam UU memang harus mengakomodasi aspirasi masyarakat dan tuntutan zaman.
“Saya kira silakan terus berjalan (revisi UU Peradilan Militer) dan sesuai dengan aspirasi yang muncul. Dan, tentu undang-undang itu kan lebih baik merespons tuntutan yang terjadi,” kata Wapres.
Dianggap Tak Cukup Tangani Kasus Kriminal Oknum TNI
Pengamat milter yang juga Direktur Imparsial Al Araf menyatakan, presiden dan DPR perlu melakukan reformasi peradilan militer dengan revisi terhadap UU No 31/1997 tentang peradilan militer.
Perlunya revisi, kata dia, merujuk pada sejumlah kasus kekerasan dan kriminal yang dilakukan sejumlah oknum anggota TNI, seperti pencurian dan mutilasi di Mimika hingga penganiayaan 3 anak di Keerom Papua.
"Sepanjang belum diubah, maka peradilan militer akan menjadi wadah impunitas bagi oknum anggota TNI yang melanggar. Dengan demikian, tidak akan ada efek jera bagi anggota yang melanggar karena mereka akan mendapatkan hukuman ringan bahkan bebas," tandas Al Araf, Rabu (2/11/2022).
Dilanjutkannya, di masa datang, militer harus tunduk pada mekanisme peradilan umum jika melakukan kejahatan pidana.
"Mekanisme peradilan umum akan menunjukkan prinsip persamaan di hadapan hukum, yang mana dalam konstitusi mengharuskan semua warga negara tunduk dalam peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum," ujarnya lagi.
"Seperti kasus Ferdy Sambo, polisi saja harus tunduk pada peradilan umum dan disidangkan. Jadi selama di TNI masih ada peradilan militer akan susah," imbuhnya.
Senada dengan Al Araf, lembaga Komisi Untuk Orang Hilang dan Kekerasan (KontraS) melihat, budaya kekerasan di tubuh institusi militer tak kunjung usai.
Hasil pemantauan KontraS menemukan, ada 61 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Dan angka tersebut tak menggambarkan peristiwa kekerasan secara keseluruhan.
"Tak jarang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI diselesaikan lewat jalur damai dan tidak terliput media nasional maupun lokal. Angka yang kami catat, tahun ini juga meningkat dari laporan tahunan sebelumnya yang menunjukan terdapat 54 peristiwa," ungkap Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.
Menurutnya, menguatnya peran militer untuk mengokupasi ruang sipil menjadi salah satu penanda Indonesia kembali ke jurang militerisme. Hal ini harus dijadikan sebagai masalah serius institusi, khususnya profesionalitas TNI dalam kerangka negara demokrasi.
"Begitupun dalam konteks militerisasi sipil, berbagai metode yang tak relevan harus dihentikan karena justru kontraproduktif terhadap agenda penguatan pertahanan," ucapnya.
Advertisement