OPINI: Aspek Perpajakan Atas Tax Avoidance

Tantangan dan permasalahan perpajakan (tax matter and challenges) dari waktu ke waktu semakin complicated dan berdampak disruptif.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Jul 2023, 20:37 WIB
John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. (Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta Penerimaan perpajakan (tax revenue) merupakan sumber utama penerimaan bagi banyak yurisdiksi. Misalnya, Indonesia sejak awal tahun 1980-an hingga sekarang, penerimaan perpajakan adalah tulang punggung  APBN (backbone of the state budget) yang diperuntukkan untuk membiayai pembangunan nasional yang berkelanjutan (sustainable national development) dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Administrasi penerimaan pajak yang modern (modern tax administration) dan kebijakan pajak yang up to date dan comprehensive dibutuhkan untuk menjamin kesinambungan penerimaan perpajakan (sustainable tax revenue).

Tantangan dan permasalahan perpajakan (tax matter and challenges) dari waktu ke waktu semakin complicated dan berdampak disruptif atas basis pemajakan (tax base) dan kepatuhan para pembayar pajak (taxpayers’ compliance) serta mendilusi kemampuan administrasi perpajakan.

Salah satu tantangan dan permasalahan tersebut adalah perencanaan perpajakan yang agresif atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Praktik rekayasa keuangan (financial re-engineering) dengan mengalihkan business profit ke low tax jurisdictions melalui perusahaan cangkang (special purpose vehicles-SPV), praktik transfer pricing, treaty abuse, thin capitalization, controlled foreign company, merupakan cakupan dari BEPS dimana praktik tersebut dapat mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (tax revenue forgone) di banyak yurisdiksi.

State of Tax Justice melaporkan bahwa secara global potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai USD 312 miliar sebagai akibat dari penghindaran pajak antar yurisdiksi secara agresif (cross border aggressive tax avoidance).

Tantangan dan permasalahan perpajakan sudah menjadi isu global dan seyogianya diselesaikan melalui kerja sama, kolaborasi dan perjanjian internasional.

Penyempurnaan standar perpajakan untuk mencegah praktik  BEPS (anti BEPS rules) sedang dalam pembahasan yang intensif pada Inclusive Framework on BEPS (IF on BEPS) yang beranggotakan 143 anggota yurisdiksi.

Selanjutnya IF on BEPS sedang menyelesaikan ketentuan Global anti BEPS rules (GloBE) pada Pillar Two yaitu Income Inclusive Rule (IIR), Subject To Tax Rule (STTR) dan Undertaxed Profit Rule (UTPR) guna melengkapi anti BEPS rules yang ada.

Beberapa hasil kesepakatan dari anti BEPS rules, dapat ditindaklanjuti oleh anggota yurisdiksinya dengan melakukan konvergensi standar global yang telah disepakati tersebut ke dalam ketentuan perundang-undangan domestik (domestic legal framework) pada masing-masing anggota yurisdiksi.

Misalnya Indonesia telah mengadopsi beberapa standar perpajakan global dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau disingkat dengan Undang-Undang HPP.

Masing-masing yurisdiksi dianjurkan untuk melengkapi ketentuan peraturan perpajakannya guna mencegah praktik penghindaran dan pengelakan pajak (tax avoidance and tax evasion), atau sering disebut domestic anti avoidance rules.

Anti avoidance rule yang ditujukan khusus untuk mencegah praktik penghindaraan pajak tertentu seperti transfer pricing, disebut special anti avoidance rule (SAAR). Misalnya, Indonesia telah memiliki beberapa diantaranya.

Pertama adalah penerapan Prinsip Kelaziman dan Kewajaran Usaha atau Arm's Length Price Principle (ALP) atas transaksi hubungan istimewa (related party transaction).

Bila harga yang terbentuk dari transaksi hubungan istimewa tidak sesuai dengan ALP, maka hal tersebut dapat mengakibatkan timbul koreksi berupa primary adjustment dan secondary adjustment.

Selanjutnya kedua adalah kewajiban menyampaikan Certificate of Resident (CoR) dan penerapan atas principle of purpose test dalam rangka memperoleh manfaat treaty (treaty benefits) dan untuk mencegah praktik treaty shopping.

Ketiga adalah penerapan debt to equity ratio untuk mencegah praktik Thin Capitalization, dan keempat yaitu ketentuan mengenai saat diperolehnya dividen atas anak perusahaan (subsidiary company) yang didirikan di luar yurisdiksi untuk mencegah praktik controlled foreign company.

Selain SAAR, setiap yurisdiksi dianjurkan untuk memiliki ketentuan umum guna melengkapi ketentuan anti avoidance rules yang sudah berlaku, atau sering disebut General Anti Avoidance Rule (GAAR).

Selanjutnya, GAAR bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang belum diatur dalam SAAR  dan memperkuat administrasi pajak untuk melindungi tax base-nya dari ancaman BEPS.

Ketentuan GAAR telah diterapkan di banyak yurisdiksi seperti Australia, New Zealand, Slovakia, Afrika Selatan, People Republic of China, India dan Singapura.

Misalnya Indonesia menerapkan metode substance over form dalam GAAR-nya sesuai Undang-Undang HPP dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.

 

Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban SDM. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya