Kenaikan Cukai Rokok 10 Persen Tak Cukup Turunkan Prevalensi Perokok Anak

Kenaikan cukai rokok rata-rata 10 persen yang berlaku pada 2023 dan 2024 tidak cukup untuk pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Nov 2022, 06:00 WIB
Ilustrasi rokok. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan cukai rokok rata-rata 10 persen yang berlaku pada 2023 dan 2024 tidak cukup untuk pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Hal ini disampaikan Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mewakili berbagai lembaga yang fokus pada pengendalian tembakau lainnya.

“Kenaikan cukai rokok konvensional sebesar 10 persen sangat kecil dan tidak akan efektif menurunkan prevalensi perokok, termasuk perokok anak. Kemudahan akses dan murahnya harga rokok adalah faktor signifikan tingginya prevalensi perokok anak,” Hasbullah dalam konferensi pers daring, Senin (7/11/2022).

“Sehingga kenaikan cukai yang hanya 10 persen ini akan kembali menggagalkan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak yang kini sudah mencapai 9,1 persen. Ditambah lagi, kenaikan tipis ini tidak terlalu berpengaruh pada perokok adiktif mengingat terlalu dekat dengan angka inflasi tahunan,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdillah Ahsan juga mengemukakan pandangannya.

Menurutnya, hal lain yang juga mengecewakan adalah tidak adanya penyederhanaan golongan rokok.

Struktur cukai saat ini dengan 8 golongan yang ada, sangat memudahkan perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah. Serta memberikan peluang bagi produsen untuk menghindari cukai dengan melekatkan pita cukai rendah pada produk yang cukainya lebih tinggi.

“Kompleksitas sistem cukai rokok dengan sejumlah golongan tersebut, memberikan celah penghindaran pajak dan penggelapan pajak, sehingga mengakibatkan kerugian ganda bagi kesehatan dan pendapatan negara,” papar Abdillah Ahsan dalam kesempatan yang sama.

2 dari 4 halaman

RPJMN Tidak Akan Tercapai

Ilustrasi Rokok. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi ikut angkat bicara. Menurutnya, kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) merupakan amanah Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007.

Tarif CHT per tahun di Indonesia belum pernah mencapai tarif yang dicantumkan dalam undang-undang yaitu 57 persen dengan harga dasar perhitungan terhadap harga jual eceran (HJE).

“Kenaikan cukai yang kecil ini membuat target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tidak akan tercapai dalam menekan angka prevalensi di kalangan remaja menjadi 8,7 persen pada tahun 2024,” kata Tulus.

“Target tersebut hanya akan tercapai jika terjadi kenaikan minimal 25 persen setiap tahun,” jelas Tulus dalam kesempatan yang sama.

Di sisi lain, kenaikan cukai 5 tahunan sebesar 15 persen untuk rokok elektronik juga terlalu kecil. Mengingat, prevalensi rokok elektronik meningkat 10 kali lipat, laju kenaikan yang sangat tinggi, bahkan lebih besar di kalangan remaja.

3 dari 4 halaman

Cukai adalah Kebijakan Paling Efektif

Tumbuhan tembakau bahan dasar rokok. Foto: Ade Nasihudin (22/9/2020).

Cukai sendiri merupakan salah satu kebijakan yang cost effective untuk mengurangi prevalensi perokok. Bahkan, menurut Hasbullah ini adalah cara paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok.

Namun, cukai yang diberlakukan belum mampu menurunkan harga rokok eceran, sehingga konsumsi, terutama pada anak dan remaja masih terancam tinggi.

Ketiga pembicara sepakat memberikan dukungan penuh kepada pemerintah, baik pusat dan daerah untuk konsisten menaikkan cukai tembakau untuk kepentingan penurunan prevalensi perokok anak dan target penurunan prevalensi perokok anak sesuai target RPJMN 2024.

Organisasi dan lembaga pengendalian tembakau di Indonesia yang setuju dengan hal ini adalah:

- Komnas Pengendalian Tembakau

- Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)

- Center of Human dan Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB AD)

- Lembaga Demografi Fakultas Eekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI)

- Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI)

- Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC)

- Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI).

4 dari 4 halaman

Kebijakan Pemerintah

Ilustrasi tembakau. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau dengan kenaikan rata-rata cukai rokok sebesar 10 persen.

Sigaret kretek mesin (SKM) I-II naik 11,75 persen hingga 11,50 persen, sigaret putih mesin (SPM) I-II naik 12 persen hingga 11,8 persen. Sementara, sigaret kretek tangan (SKT) I-II-III naik 5 persen yang akan berlaku sama untuk 2023 dan 2024.

Cukai rokok elektronik naik 15 persen dan 6 persen untuk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), yang berlaku kenaikannya setiap tahun selama 5 tahun, mulai 2023 sampai 2028.

Pemerintah menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) harus fokus digunakan untuk perbaikan kesehatan (perbaikan puskesmas, posyandu, dan penanganan stunting; perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok ilegal). Juga impor tembakau akan diatur dan dibatasi untuk melindungi petani tembakau dalam negeri. 

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya