Pungutan Sawit Diminta Evaluasi, Dianggap Rugikan Petani

Permasalahan industri sawit hingga saat ini masih terus bergulir.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Agu 2022, 16:10 WIB
Kelapa sawit terlihat saat massa yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Apkasindo meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi meninjau ulang kebijakan larangan ekspor sawit dan produk MGS serta bahan bakunya karena dampaknya langsung ke harga TBS sawit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Permasalahan industri sawit hingga saat ini masih terus bergulir. Salah satunya soal anjloknya harga beli tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani yang rata-rata masih berada di kisaran Rp 1.200/kg. Jauh lebih rendah ketimbang harga TBS sawit di Malaysia yang saat ini setara dengan Rp 4.500.

Merespon hal itu, pemerintah menyetop sementara pungutan ekspor sawit dengan harapan menggairahkan kembali ekspor sawit nasional. Dengan begitu pabrik bisa melepas cadangan yang selama ini hanya tersimpat di tangki penyimpanan.

Dengan demikian, harapannya ada ruang lebih longgar di tangki penyimpanan pabrik CPO sehingga bisa menyerap sawit petani dengan harga yang lebih baik. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menargetkan harga TBS sawit petani bisa naik setidaknya ke angka Rp 2.400 di akhir Agustus, atau di periode relaksasi pungutan sawit ini berakhir.

Hanya saja, masalah industri sawit sepertinya belum akan tuntas kala pungutan ekspor sawit ini kembali diterapkan awal bulan depan. Karena disinyalir, akar masalahnya justru ada di pengelolaan dan sawit itu sendiri.

Penliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpandangan, pengelolaan dana sawit saat ini tidak sejalan dengan ide utama ketika pungutan ekspor sawit ini direncanakan. Ia bahkan menyebutnya kacau balau.

"Pemanfaat dana dari kelapa sawit saat ini bisa dibilang jauh dari kata 'bagus' bahkan cenderung 'kacau balau'," tegas dia saat berbincang dengan media, Senin (8/8/2022).

Ada sejumlah aspek yang menjadi sorotan dan mendasari penilaiannya. Selain tidak tepat sasaran, Nailul Huda memandang, pemanfaatan dana sawit ini hanya menguntungkan segelintir pihak.

"Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," sebut dia.

 

2 dari 4 halaman

Pengembangan Biodiesel

Seorang pekerja mengangkut cangkang sawit di atas rakit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Pemerintah, lanjut dia, hanya fokus pada pengembangan biodiesel dengan porsi yang cukup besar. Di sisi lain, aspek lain seperti pemberdayaan petani malah mendapat porsi yang minim.

"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," tegas dia.

Daripada untuk mensubsidi biodiesel, lanjut dia, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di tengah masyarakat melambung tinggi dan harga TBS sawit petani terjun bebas.

"Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit," tutur dia.

Berangkat dari sana, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit.

"Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi BPDKS secara menyeluruh. Terutaman setelah kejadian fenomenal kemarin dimana kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga minyak goreng melambung tinggi. Evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit," tegas dia.

 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Laporan Petani Sawit

Seorang pekerja membawa cangkang sawit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Dalam laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di tahun 2019 berjudul Salah Kaprah Dana Sawit, disebutkan bahwa pungutan sawit telah berdampak pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.

"Terbukti, dengan pungutan USD 50/ton, harga tandan buah segar (TBS) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150/kg," tulis laporan tersebut dikutip dari situs resmi SPKS, Senin (8/8/2022).

Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai US$ 200/kg.

Dengan tekanan yang diterima petani imbas pungutan sawit, petani justru jadi pihak yang paling minim menerima manfaat dari dana pungutan sawit tersebut.

Benar saja, sejak Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pembentukan Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) pada tahun 2015, BPDP-Sawit sudah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021.

Penggunaan dana yang dikumpulkan tersebut tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit karena dana pungutan sawit lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel.

Total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16% dari total dana sawit. Namun anggaran untuk industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8 persen.

Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14 persen dari total dana sawit.

 

4 dari 4 halaman

Pernah Diusulkan

Realisasi replanting sawit di Kabupaten Paser ditargetkan 17 ribu hektare. (Liputan6.com)

Desakan evaluasi penerapan pungutan ekspor sawit atau dana sawit sebenarnya bukan sekali dua kali disuarakan.

"Dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva belum lama ini.

Yang juga menjadi sorotan adalah soal pelaksanaan penggunaan dana pungutan sawit yang rentan penyelewengan. Maklum saja, pemanfaatan dana sawit berupa pengembangan biodiesel tidak dibuka luas melainkan hanya ke segelintir perusahaan yang ditunjuk lewat skema penunjukan langsung.

Lagi-lagi, kondisi ini dimungkinkan imbas keberadaan regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Misalnya pada Permen ESDM No. 29 thn 2015 Pasal 6 ayat (9) disebutkan Penetapan Badan usaha BBN jenis Biodiesel dan alokasi besaran volume BBN jenis Biodiesel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar Badan usaha BBM Tertentu melakukan penunjukan langsung.

Hamdan mengingatkan bahwa tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit.

"Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyakgoreng," tutur dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya