YLBHI: Terjadi 104 Pelanggaran Hak Sipil Selama 2021, Didominasi Aparat Kepolisian

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 104 kasus pelanggaran hak sipil, dimana pelanggaran tersebut didominasi aktor negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Des 2021, 13:16 WIB
Ilustrasi polisi. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 104 kasus pelanggaran hak sipil, dimana pelanggaran tersebut didominasi aktor negara.

"Tahun 2021, YLBHI telah merekam sebanyak 104 kasus pelanggaran hak sipil yang tersebar di seluruh Indonesia. Aktor negara," kata Pengurus YLBHI Febi Yonesta dikutip melalui saluran channel youtube Yayasan LBH Indonesia, Jumat, (31/12/2021).

Febi menyampaikan para pelaku pelanggaran hak sipil didominasi oleh kepolisian, kemudian tentara dan terakhir pemerintah daerah.

"Masih melibatkan kepolisian yang menjadi aktor pelaku pelanggaran utama. Ada juga militer dan Pemda" kata Febi dalam konferensi pers daring, Jumat (31/12/2021).

Febi mengatakan pelanggaran yang dilakukan pihak kepolisian, terkait dengan aksi demonstrasi. Pengamanan aksi kerap dijadikan alasan yang berujung pada tindakan represif terhadap masyarakat.

"Dari berbagai kasus pelanggaran hak sipil bahwa modus yang dilakukan oleh para pelaku pihak kepolisian menjadi garda terdepan yang menyalahgunakan berbagai ketentuan pidana untuk menjerat masyarakat yang melaksanakan haknya untuk berpendapat dan berekspresi," katanya.

Bahkan, kata Febi, dari beberapa kasus yang terjadi di daerah tak jarang aparat kepolisian juga ikut melibatkan militer dan organisasi masyarakat tertentu untuk membubarkan paksa aksi unjuk rasa, disertai dengan kekerasan fisik.

"Kekerasan fisik dilakukan baik dengan pemukulan penangkapan tanpa alasan dan prosedur yang sah penahanan dan yang akhirnya berujung pada kriminalisasi," katanya.

Setidaknya, Febi mencatat selama tahun 2021 pihaknya telah memberikan pendampingan hukum terhadap 8 kasus kriminalisasi dalam bentuk penangkapan tanpa prosedur serta tindakan represif.

Lebih lanjut, Febi mengatakan jika tindakan represif aparat sangat otoriter, dimana kebebasan masyarakat sangat dibatasi.

"Dalam kadar tertentu otoriteranisme telah kembali, kenapa karena demonstrasi kebebasan berpendapat dalam berekspresi seperti terlarang. Dan yang paling memang terlihat secara besar adalah penangkapan terhadap teman-teman Papua," katanya.

2 dari 2 halaman

Penangkapan Mahasiswa

Dia menggambar dari lima kasus aksi yang terjadi di Jakarta dan Semarang terkait isu Papua, dimana para mahasiswa yang belum melakukan unjuk rasa sudah ditangkap, dibawa ke kantor polisi kemudian ditahan beberapa saat.

"Ini penangkapan yang jelas tidak dasar hukumnya kalau kita baca misalnya di undang-undang 1998. Sekalipun misalnya demonstrasi itu tidak memenuhi syarat administrasi di undang-undang itu. itu yang diperkenalkan yang jadi bubarkan saja," katanya

Dari penangkapan itulah, Febi menduga modus aparat kepolisian untuk kemudian melakukan tindakan lebih lanjut berupa penyitaan hingga tes urine, guna jadi dasar menjerat para pelaku atas pelanggaran pidana.

"Bahkan kemudian diiringi juga dengan penyitaan hp-hp, tas, dan lain-lainnya disita dan kemudian diteruskan dengan tes urine jadi ada modus lanjutan pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian saat penangkapan dan berlanjut pada tes urine dan penyitaan yang sewenang-wenang," ujarnya.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya