Anggap sebagai Leluhur, Warga Pasaman Gelar Prosesi Pemakaman Macan Dahan

Macan dahan dianggap sebagai leluhur oleh masyarakat setempat.

oleh Novia Harlina diperbarui 28 Sep 2021, 12:00 WIB
Macan dahan mati di Pasaman, Senin 26 September 2021. (Liputan6.com/ BKSDA Sumbar)

Liputan6.com, Pasaman - Seekor satwa langka jenis macan dahan di Kampung Pinang Nagari Cubadak Tangah Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dilaporkan mati.

Satwa langka itu diketahui masuk ke permukiman penduduk pada Minggu, 26 September 2021 dalam keadaan terluka pada bagian perut dan punggung.

Kemudian pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar mendapat laporan terkait macan dahan itu pada 27 September 2021. Namun, sebelum tim medis Puskeswan Duo Koto sampai di lokasi satwa tersebut sudah mati.

"Sebelum tim rescue dari Lubuk Sikaping tiba di lokasi, paramedis satwa Puskeswan Dua Koto yang sudah tiba di lokasi menginformasikan bahwa satwa sudah mati," kata Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono, Selasa (28/9/2021).

Ia menyebut dari foto-foto dipastikan bahwa satwa liar yang mati adalah macan dahan bukan harimau sumatera sebagaimana informasi awal yang diterima.

Dari luka-luka di sekujur tubuh macan dahan, lanjutnya, diduga akibat perkelahian dengan sesama macan dahan, perilaku seperti ini umum ditemui pada bangsa kucing-kucingan (felidae) dalam memperebutkan teritori.

Satwa dengan nama latin Neofelis diardi ini diperkirakan berasal dari hutan lindung yang berdekatan dengan lokasi kejadian yang merupakan habitat asli macan dahan. Proses pertarungan seperti ini dapat disebabkan perebutan betina atau wilayah jelajah.

"Analisa sementara menunjukkan proses regenerasi di kawasan tersebut baik," ujar Ardi.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Bangkai Macan Dahan Dikafani

Macan dahan mati di Pasaman, Senin 26 September 2021. (Liputan6.com/ BKSDA Sumbar)

Ketika Tim Rescue tiba di lokasi, bangkai satwa telah dikafani serta menjalani prosesi penyelenggaraan jenazah sebagaimana layaknya manusia.

Menurut pengakuan tokoh masyarakat di Kampung Pinang hal tersebut dilakukan karena keyakinan mereka bahwa macan tersebut adalah leluhur yang menjaga mereka secara turun temurun.

"Masyarakat sudah berkumpul untuk selanjutnya melakukan prosesi penguburan," jelasnya.

Dengan mediasi dari petugas Polsek Duo Koto dan Polres Pasaman, tim rescue BKSDA Resort Pasaman mencoba bermusyawarah bersama perwakilan tokoh masyarakat agar diperkenankan membawa bangkai untuk tujuan nekropsi (bedah bangkai) agar diketahui penyebab utama kematian satwa.

Awalnya, masyarakat bersedia bangkai dibawa dengan catatan setelah proses nekropsi selesai, bangkai satwa akan dibawa kembali ke Kampung Pinang untuk kemudian dimakamkan secara adat oleh masyarakat.

3 dari 3 halaman

Tolak Nekropsi

Warga menolak nekropsi bangkai macan dahan. (Liputan6.com/ BKSDA Sumbar)

Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba salah seorang masyarakat berteriak-teriak terlihat seperti kerasukan dan menolak bangkai dibawa keluar. Massa yang terprovokasi mendesak pembatalan kesepakatan meskipun petugas meyakinkan bahwa bangkai satwa segera dibawa kembali setelah nekropsi selesai.

Setelah itu, ritual adat dilakukan oleh masyarakat setempat yang melibatkan paranormal sebagai media penghubung dengan arwah leluhur, hingga disimpulkan bangkai satwa harus segera dimakamkan atas permintaan arwah leluhur.

Ardi sangat menyayangkan sikap masyarakat yang tidak memperkenankan dilakukannya nekropsi. Padahal, melalui nekroskopi bisa diketahui penyebab kematian satwa sehingga tindakan ini merupakan suatu hal yang tidak boleh diabaikan.

"Kami hargai budaya dan kearifan lokal masyarakat, namun nekropsi ini penting dilakukan," sebutnya.

Menurutnya, jika ternyata penyebab kematian adalah virus atau penyakit zoonosis atau menular dari hewan ke manusia, maka hal ini akan membahayakan sekali bagi masyarakat yang sudah kontak langsung dengan bangkai satwa.

Apalagi saat ini sudah teridentifikasi virus ASF (African Swine Fever) menjangkiti satwa liar yang hidup di hutan sumatera terutama jenis babi hutan.

Untuk itu, BKSDA Sumbar berharap tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama dapat bersinergi dengan BKSDA Sumbar untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, untuk meluruskan pemahaman-pemahaman yang kurang tepat dalam memperlakukan satwa dan alam.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya