Pengelola Sekolah SPI Kota Batu Sebut Tidak Perlu Ada Pengawas Independen

Pengawasan dan evaluasi terhadap Sekolah SPI Kota Batu sudah rutin dilakukan Dinas Pendidikan

oleh Zainul Arifin diperbarui 11 Jun 2021, 15:13 WIB
Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Kota Batu diguncang kasus dugaan kekerasan seksual (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Kota Batu - Sekolah Selamat Pagi Indonesia atau SPI Kota Batu menilai tak perlu membentuk tim pengawas independen setelah muncul dugaan kasus kekerasan seksual. Sebab selama ini pengawasan di internal sudah berjalan sangat maksimal.

Kepala SPI Kota Batu, Risna Amalia mengatakan pengelola sekolah telah membentuk pengawasan sejak berdiri pada 2007 silam. Sejak awal, evaluasi dan pengawasan melibatkan Dinas Pendidikan Jawa Timur.

“Maka pengawasan (di internal) ya tetap seperti selama ini, tak perlu ada lagi,” kata Risna kepada awak media di Kota Batu, Kamis, 10 Juni 2021.

Namun ia tak menjawab pertanyaan siapa penanggungjawab sekolah sekarang ini. Risna menjelaskan Sekolah SPI Kota Batu sah secara hukum sejak 2007 silam dan telah terakreditasi. Seluruh kegiatan di sekolah selalu rutin dievaluasi Dinas Pendidikan.

“Termasuk penerapan dua kurikulum yakni reguler untuk akademik dan kurikulum kompetensi keterampilan siswa,” ucap Risna.

Kurikulum kompetensi mendorong siswa memiliki keterampilan sehingga begitu lulus mampu bersaing. Salah satunya berupa unit praktik lapangan (UPL) yang memberikan pelatihan ke siswa.UPL dilakukan saat jam belajar dengan pengawasan guru pendamping.

Selain itu, sekolah SPI Kota Batu juga menerapkan aturan ketat termasuk pemberian sanksi tegas pada siswa yang melanggar. Sanksi berupa dikeluarkan dari sekolah atau dikembalikan ke walinya bila terbukti melanggar.

“Aturan itu telah diketahui siswa dan siswa serta walinya ketika diterima di sekolah ini,” ujar Risna.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Lindungi Psikis Siswa

Siswa Kuasa hukum Sekolah SPI Kota Batu, Recky Bernadus Surupandy mengatakan pihaknya sampai saat ini menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Karena itu pula, tidak ada upaya untuk bertemu siswi yang diduga menjadi korban kekerasan seksual.

“Tentu tidak etis menemui korban karena perkara ini sudah masuk ranah hukum,” ujar Recky.

Ia menyayangkan tindakan korban yang tidak langsung melapor ke sekolah bila benar ada kekerasan seksual. Meski demikian, pihaknya menghormati itu termasuk adanya siswi yang memilih melapor ke hotline atau kontak pengaduan.

Pengelola sekolah sendiri membantah ada dugaan kekerasan seksual, fisik dan ekonomi kepada siswa. Ia meminta semua pihak menghormati proses hukum dan tak membuat pernyataan yang dapat mengganggu psikis siswa dalam belajar.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya