Lama Mangkrak, Bagaimana Kelanjutan Kasus Dugaan Korupsi Pembebasan Lahan Bandara Toraja?

Setelah bertahun-tahun mandek, berkas perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja akhirnya dinyatakan rampung.

oleh Eka Hakim diperbarui 12 Jan 2021, 10:00 WIB
Polda Sulsel akhirnya berhasil merampungkan berkas perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja, Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Toraja - Tim Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel akhirnya berhasil merampungkan berkas para tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja.

"Iya sudah P21 dan pelimpahan tahap dua segera kami lakukan," singkat Kepala Subdit III Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sulsel, Kompol Rosyid Hartanto via telepon, Senin (11/1/2021).

Sebelumnya, penanganan kasus ini terus mendapat kritikan dari sejumlah lembaga pegiat anti korupsi lantaran sejak ditangani pada tahun 2012, penanganan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan negara Bandara Mangkendek, Tana Toraja tak kunjung rampung. Bahkan, berkas para tersangka dalam kasus tersebut tampak tujuh kali bolak-balik antara kejaksaan dan kepolisian.

Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun misalnya. Ia pun sempat mengatakan kasus ini merupakan salah satu kasus korupsi yang ditangani mandek bahkan dapat dinilai sebagai pemecah rekor terlama ditangani.

Meski demikian ia tetap yakin kasus Bandara Mangkendek itu bisa rampung dan berlabuh ke Pengadilan Tipikor jika kedua lembaga penegak hukum yakni Kejati Sulsel dan Polda Sulsel punya kemauan besar untuk menuntaskannya dan mengungkap seluruh keterlibatan semua pihak dalam kegiatan yang jelas-jelas telah merugikan negara tersebut.

"Kasus Bandara Mangkendek ini merupakan salah satu kasus korupsi yang sangat parah penanganannya. Para tersangkanya saja sudah kedua kalinya bebas demi hukum lantaran berkasnya tak kunjung rampung (P21). Kasusnya pun ditangani sejak tahun 2012," kata Kadir.

Yang menjadi ironis lagi, lanjut dia, kasus Bandara Mangkendek tersebut telah melalui proses supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi tidak menjadi pertimbangan untuk segera dituntaskan dan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.

"Dari awal bahkan kami berkali-kali telah menyurat ke KPK agar kasus Bandara Mangkendek Tana Toraja ini diambil alih saja agar bisa ada kepastian hukum dan berakhir di persidangan tipikor. Kalau tidak yah kasus ini akan terus mandek bertahun-tahun dan akhirnya akan menghilang," terang Kadir sebelumnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Mantan Bupati hingga Ketua DPRD Turut Terperiksa

Pasca dibuka kembali sejak bulan April 2019, penyidik subdit tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi masing-masing mantan Bupati Tana Toraja, Theofelus Allorerung, mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten TanaToraja yang juga bertindak selaku ketua panitia pengadaan tanah, Enos Karoma, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Tana Toraja selaku anggota panitia pengadaan tanah, Yunus Sirante dan mantan Camat Mangkendek selaku anggota panitia pengadaan tanah, Ruben Rombe Randa.

Kemudian, saksi lainnya yakni mantan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja yang juga bertindak selaku Pengguna Anggaran (PA), Meyer Dengen dan mantan Bendahara Pengeluaran pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja, Aspa Astri Rumpa.

Serta turut juga memeriksa Ketua DPRD Kabupaten Tana Toraja yang saat itu bertindak sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Welem Sambolangi dan mantan Ketua Komisi 3 DPRD Tana Toraja tahun anggaran 2010, Yohannes Lintin Paembongan.

Usai memeriksa para saksi, penyidik lalu lakukan gelar perkara dan menetapkan kembali delapan orang tersangka yang jauh sebelumnya sudah pernah berstatus tersangka, tetapi bebas demi hukum karena masa penahanannya di tahap penyidikan kala itu usai.

"Tersangka masih yang dulu," singkat Kombes Pol Yudhiawan Wibisono yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Minggu 22 September 2019.

Kasus ini pun nyaris dihentikan pada era Kombes Pol Augustinus Berlianto menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel. Ia sempat memberikan sinyal jika mengacu kepada Peraturan Kapolri (Perkap), maka penyidikan kasus tersebut sudah seharusnya dihentikan lantaran berkas berkali-kali hanya bolak-balik.

"Kalau bolak-balik begitu, perkap kita itu yah kasusnya sudah harus dihentikan," jelas Augustinus saat ditemui saat itu di Mako Polrestabes Makassar, Senin, 30 Desember 2019.

 

3 dari 3 halaman

Perjalanan Panjang Kasus Bandara Mangkendek

Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja ditangani sejak tahun 2012 (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat itu dijabat oleh Laode Muhammad Syarif juga sempat kaget mendengar kabar penyidikan dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel belum rampung hingga saat ini.

Sementara kasus tersebut, diakuinya, telah disupervisi dan dilakukan gelar perkara bersama dengan menghadirkan penyidik Polda Sulsel dan tim peneliti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel di gedung KPK RI.

"Hasil supervisi sudah jelas. Itu juga merupakan permintaan Polda Sulsel dan Kejati Sulsel. Kita juga sudah lakukan gelar perkara bersama di KPK. Oh ya belum rampung yah saya coba cek nanti," singkat Laode kala itu saat ditemui Liputan6.com usai menghadiri acara Bung Hatta Tour yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar di gedung Aula Fakultas Pertanian Unhas, Rabu 6 September 2017.

Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya. Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40.250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 Miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Dari data yang dihimpun, kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya