Sektor Edtech Berpotensi Besar untuk Berkembang Pesat

Bertolak belakang dengan sektor pariwisata yang terpukul hebat, edtech justru berpotensi untuk berkembang pesat.

oleh M Hidayat diperbarui 24 Sep 2020, 07:30 WIB
Ilustrasi e-learning, belajar online, belajar daring. Kredit: Geralt via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Penerapan kembali Pembatasan Skala Besar-Besaran (PSBB) yang lebih ketat atas keputusan Gubernur DKI Jakarta berdampak pada beberapa startup, tak terkecuali di sektor edtech. Bertolak belakang dengan sektor pariwisata yang terpukul hebat, edtech justru berpotensi untuk berkembang pesat.

Upaya untuk menekan penyebaran virus Covid-19 telah memaksa aktivitas di sekitar 530.000 sekolah di Indonesia diberhentikan sementara. Layanan berbasis TIK dalam untuk penyediaan akses pendidikan lewat aktivitas belajar di rumah memiliki peluang menjanjikan.

Saat ini, Ada sekitar 68 juta siswa dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi yang membutuhkan teknologi untuk belajar. Bahkan secara global, kurang lebih 1,5 miliar siswa di 188 negara tidak dapat menghadiri kelas. Disrupsi pendidikan seperti ini terakhir kali terjadi saat Perang Dunia II.

Keadaan ini akan dapat mendorong sektor edtech berkembang pesat. Penggunaan edtech akan terus menjadi kebutuhan siswa di berbagai jenjang pendidikan. Tentunya, teknologi seperti internet, ponsel pintar, dan laptop menjadi perangkat wajib dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh.

Menurut Business Resilience Wheel yang dirilis oleh Grant Thornton Indonesia pada kuartal pertama tahun ini pendanaan menjadi salah satu strategi startup untuk tetap bertahan di masa pandemi.

Para pemain di sektor edtech tampak telah melakukan eksekusi atas strategi ini dengan cukup baik. Hal itu terlihat dari sejumlah investasi besar yang telah disuntikkan ke sektor ini dan menjadikan pandemi Covid-19 sebagai momentum akselerasi dan ajang pembuktian bahwa investasi itu digulirkan ke sektor yang tepat.

"Melihat perkembangan sektor edtech di Indonesia, tentu terlihat prospek yang sangat menjanjikan. Bagi investor yang menginvestasikan dana di sektor ini perlu juga mempertimbangkan risiko yang dapat menyertai seperti regulasi, sikus pendanaan dan bagaimana entitas bersaing dengan kompetitor," ujar Kurniawan Tjoetiar, Legal Partner Grant Thornton Indonesia dalam keterangan tertulis.

2 dari 2 halaman

Perlu strategi lain

Dari sisi entitas, menurut Kurniawan, para pemain sektor edtech juga perlu menjalankan strategi bertahan dengan melihat cara untuk menekan biaya, memberikan kualitas pengajar yang baik, dan hasil yang berdampak.

"Hal tersebut menjadi kunci untuk menentukan siapa pemenang dalam jangka panjang seiring pertumbuhan dan semakin matangnya pasar EduTech di Indonesia," tutur Kurniawan menegaskan.

Setelah jeda pendanaan pada bulan Maret, memang sejumlah investor mengucurkan dana ke sektor edtech.

Investor terlihat berfokus pada pemain yang memasarkan alat dan layanan langsung ke konsumen (Direct To Consumer), bukan ke institusi. Tiga subsektor edtech yang mengantongi investasi paling besar adalah bimbingan belajar daring, bantuan dan aplikasi digital, serta edutainment.

Hingga bulan Juni lalu, menurut Grant Thornton Indonesia, ada 44 pemain di sektor edtech di Indonesia, dan angka ini diperkirakan masih akan terus bertambah. Beberapa edtech startup yang semakin populer di Indonesia sejak perannya semakin terasa oleh siswa selama masa pandemi termasuk Quipper, Zenius, Ruangguru, IndonesiaX, Cakap, dan sejumlah startup lainnya. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya