Komisi VI DPR: Garuda Punya Tantangan Hadapi Corona

Deddy menjelaskan, tantangan berat itu diawali dengan terhentinya layanan penumpang ke 8 daerah Hub Garuda setelah berlakunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Apr 2020, 04:11 WIB
Pesawat maskapai Garuda Indonesia terparkir di areal Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (16/5/2019). Pemerintah akhirnya menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat atau angkutan udara sebesar 12-16 persen yang berlaku mulai Kamis hari ini. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Industri penerbangan mejadi salah satu sektor paling terdampak dari munculny pandemi corona atau Covid-19.  Sejumlah maskapai penerbangan pun harus mengatur siasat agar terhidar dari keterpurukan, salah satunya yang dialami oleh PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). 

Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus mengakuii tantangan yang dihadapi Garuda Indonesia sangat besar di tengah badai Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia.

Deddy menjelaskan, tantangan berat itu diawali dengan terhentinya layanan penumpang ke 8 daerah Hub Garuda setelah berlakunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Selain itu, layanan Garuda pada jemaah umrah dan haji juga berhenti.

"Revenue perusahaan Garuda Indonesia dari layanan penumpang diperkirakan terpangkas 55 persen sampai akhir tahun 2020,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis, Senin (27/4/2020).

Wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara itu mengungkapkan, berdasarkan data yang disampaikan kepada Komisi VI DPR RI, pengeluaran tinggi Garuda Indonesia di antaranya adalah biaya operasional, biaya sewa pesawat, biaya overhead yang tinggi, serta biaya finansial yang tinggi.

"Biaya sewa pesawat itu tinggi jika tidak ada pengurangan jumlah dan nilai kontrak pesawat di masa pandemi Covid-19,” ungkap dia.

Deddy melanjutkan, turunnya ekonomi makro dan ekonomi mikro akan semakin memperburuk kondisi Garuda Indonesia meski Covid-19 sudah berlalu. Alasannya adalah beban utang yang jatuh tempo pada 2020, di antaranya adalah SUKUK sebesar 500 juta dolar AS yang jatuh tempo pada Juni 2020.

Dia memperkirakan Garuda Indonesia membutuhkan setidaknya 600 juta dolar AS untuk menopang kelangsungan hidupnya sampai akhir tahun 2020. Angka perhitungan tersebut di luar kebutuhan pembayaran SUKUK pada tahun ini sebesar 500 juta dolar AS.

"Total dibutuhkan 1,1 miliar dolar AS. Major airlines di dunia telah mendapatkan suntikan dana dari pemerintahnya untuk penyelamatan hidup airlines tersebut. Apakah Garuda siap untuk ini?,” ujar Deddy.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Bakal Normal Kembali

Pandemi Covid-19 mengguncang industri penerbangan di seluruh dunia. Dalam catatannya, ungkap Deddy, ada 117 airlines dunia yang men-grounded 90 persen fleet-nya, dan 167 airlines lainnya men-grounded 40 persen fleet yang mengakibatkan jumlah traveler merosot 87 persen.

Diperkirakan volume penerbangan akan kembali normal 3-5 tahun pasca Covid-19 dan harga akan kembali kuat satu tahun pasca Covid-19.

"Segmen Business akan lebih cepat pulih dibanding segmen leisure. Akan ada perubahan demand layanan vs cost pasca Covid-19, dimana airlines harus sanggup bertransformasi diri. Apakah Garuda siap untuk ini?” ungkap Deddy.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya