Bila PSBB Tak Dipatuhi, Peneliti Prediksi Puncak Kasus COVID-19 di Indonesia Terjadi pada Mei

Selama masyarakat masih abai terhadap PSBB dan tidak menerapkan pencegahan COVID-19 lainnya, puncak kasus infeksi virus corona di Indonesia bisa terjadi pada Mei dengan sekitar lebih dari 10 ribu kejadian

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 16 Apr 2020, 15:10 WIB
Petugas Dinkes Kota Bogor mengenakan pakaian APD melakukan rapid test Covid-19 dengan sistem drive thru di pelataran Stadion GOR Pajajaran, Bogor, Selasa (31/03/2020). Penyelenggaraan drive thru yang kedua kalinya ini dilakukan kepada lebih dari dua ratus ODP Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Meski belum diketahui kapan waktu yang tepat dari puncak pandemi COVID-19 di Indonesia, namun diprediksi situasi ini akan berlangsung sekitar bulan Mei atau dalam tiga hingga empat minggu ke depan.

Profesor Amin Soebandrio, peneliti dan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengatakan, jika Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) tidak dilakukan dengan baik, serta masyarakat masih abai terhadap pencegahan COVID-19, bukan tidak mungkin akan terjadi lonjakan kasus COVID-19 yang sangat tinggi.

"Kira-kira akhir bulan puasa kali ya. Itu bisa terjadi puncak yang tinggi, artinya jumlah kasusnya juga cukup tinggi mungkin bisa di atas 10 ribu," kata Amin pada Health Liputan6.com ketika dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (16/4/2020).

"Itu (puncak kasus) bisa terjadi kalau PSBB ini tidak dipatuhi dengan baik. Tidak cuma PSBB saja, PSBB dan kawan-kawannya, artinya peran masyarakat, partisipasi masyarakat kurang besar," tambahnya.

Namun, Amin memperkirakan dalam waktu dua hingga tiga minggu usai puncaknya, kasus infeksi virus corona kemungkinan bisa menurun.

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Konsekuensi Puncak Kejadian

Hasil reaktif rapid test ini bukan akhir dari pemeriksaan. Hasil ini masih akan diuji dalam pemeriksaan lanjutan melalui sampel yang dikirim.

Amin mengatakan apabila pemahaman masyarakat untuk berkontribusi dalam pencegahan COVID-19 masih kurang, ditambah lagi dengan masih adanya mudik, membuat pergerakan manusia sulit terbendung dan malah menambah risiko penularan.

"Saya lihat orang-orang masih berkeliaran, berkerumun, tanpa masker dan sebagainya. Pemerintah sudah berupaya kuat tapi masyarakat tidak mematuhi, tidak berpartisipasi, maka peningkatan akan cukup tajam sampai kurvanya tinggi," ujarnya.

Konsekuensinya, dengan jumlah kasus yang tinggi, pasien yang membutuhkan perawatan akan melonjak dalam waktu singkat. Inilah yang dikhawatirkan menjadi beban bagi layanan kesehatan Indonesia.

Skenario lainnya adalah jumlah kasus yang sama namun tersebar dalam rentang waktu yang lebih panjang. Di sini, puncak kasus bisa mundur namun angkanya tidak terlalu tinggi bahkan bisa di bawah 10 ribu, tetapi beban perawatan juga lebih mudah untuk dikendalikan.

"Jadi kalau skenario kedua yang berlaku, maka jumlah orang yang membutuhkan perawatan kan tidak terlalu tinggi. Cuma lebih panjang," kata Amin.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya