Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang membebaskan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) merupakan keputusan yang sangat relevan di masa sulit penyebaran virus corona (Covid-19).
"Dengan meniadakan RIPH, impor bawang putih dan bawang bombay diharapkan bisa berjalan lebih cepat dan pasokan keduanya bisa segera memasok kebutuhan dan menstabilkan harga di pasar Indonesia," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (31/3/2020).
Advertisement
Felippa juga mendorong pemerintah untuk memperluas terobosan pembebasan impor tersebut ke komoditas strategis lain, seperti daging sapi, jagung, kedelai, dan gula.
"Pembebasan RIPH merupakan terobosan yang baik dalam penyederhanaan proses pengajuan impor produk hortikultura. Komoditas yang diimpor diharapkan bisa segera sampai dan berperan dalam menstabilkan harga di pasar. Penyederhanaan proses impor ini idealnya bisa diteruskan untuk memastikan ketersediaannya di pasar," imbuhnya.
Menurut dia, permintaan pembebasan RIPH sebagai persyaratan impor produk hortikultura perlu dipahami oleh pemerintah secara lebih dalam. Permintaan ini salah satunya bersumber dari panjangnya proses birokrasi, baik di Kemendag maupun Kementerian Pertanian (Kementan).
"Kalau proses penerbitan kedua dokumen tadi bisa berjalan lebih transparan dan lebih cepat, komoditas yang diimpor diharapkan bisa masuk ke pasar Indonesia tepat waktu dan memang efektif untuk menjaga stabilitas harganya," ujar dia.
Kewajiban Menanam Bagi Importir
Selain itu, Felippa juga meminta pemerintah mengevaluasi kembali kewajiban menanam bawang putih untuk importir. Kewajiban menanam bawang putih sebesar 5 persen dari volume impor yang diajukan tidak efektif untuk mencapai target swasembada yang dicanangkan pemerintah.
Dia menyatakan, realisasi dari wajib tanam juga belum sesuai dengan peraturan 5 persen dari volume. Implementasi keharusan wajib tanam terhalang oleh kapasitas untuk mengecek kenyataan di lapangan atau memantau perkembangan penanaman. Alhasil, banyak pelaksanaan wajib tanam yang tidak sesuai dengan laporan.
"Importir dihadapkan pada risiko gagal panen karena keterbatasan kapasitasnya dalam menanam atau masalah cuaca dan iklim topis Indonesia yang kurang pas untuk menumbuhkan bawang putih yang berkualitas baik. Belum lagi adanya kerawanan penyalahgunaan akturan kuota impor dari RIPH yang nampak pada kasus korupsi impor bawang putih yang terjadi pada 2019 yang lalu. Potensi korupsi terjadi karena sistem RIPH yang tidak transparan," tuturnya.
Advertisement