Ketua Satgas Omnibus Law: Wajar Jika Buruh Keberatan RUU Cipta Kerja

Pihaknya pun terus melakukan komunikasi kepada para serikat kerja untuk sama-sama melihat sisi lain daripada Omnibus Law

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Mar 2020, 13:45 WIB
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sudah diserahkan ke DPR. Aturan 'sapu jagat' itu langsung memantik polemik dari sejumlah buruh. Salah satu yang paling disoroti adalah ketentuan pemberian pesangon.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law, Roslan Roeslani menilai wajar jika ada sejumlah buruh yang merasa keberatan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

Pihaknya pun terus melakukan komunikasi kepada para serikat kerja untuk sama-sama melihat sisi lain daripada Omnibus Law tersebut.

"Wajar (jika dikrituk) dan sekarang bagaimana kita komunikasi untuk menerangkan secara keseluruhan. Karena kalau diliat sebagian-sebagian itu tidak akan menggambarkan keseluruhan makna dan arti daripada omnibus ini," kata Rosan dalam acara diskusi di Four Seasons Hotel, Jakarta, Kamis (5/3/2020).

Rosan meminta agar para serikat buruh tidak hanya melihat Omnibus Law ini dari satu sisi saja. Akan tetapi melihat keuntungan lain yang diatur dalam RUU Omnibus Law tersebut.

"Kalau kita liat satu per satu, oh ini pesangonya turun kalau berhenti disitu bakal turun ya, tapi kalau kita liat lebih dalam lagi ini turun tetapi ada beberapa program yang sangat baik dari pemerintah," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Aksi buruh yang tergabung dalam KSPSI (dok: KSPSI)

Dia mengatakan, saat ini memang jumlah pesangon diberikan maksimalnya sekitar 32,4 persen. Namun jika Undang-Undang Omnibus Law ini ditetapkan akan berada di 17 persen.

Namun, terpenting kata dia adalah bukan soal turunnya jumlah pesangon yang akan dibayarkan. Tapi bagaimana insentif lain yang diberikan pemerintah seperti jaminan kehilangan pekerjaan, yang tidak memberatkan baik pengusaha maupun tenaga kerjanya.

"Memang 17 persen tetapi para pengusaha diwajibkan dalam undang-undang itu, jika di setujui setahun paling lambat harus berikan 5 bulan gaji. Ini kadang-kadang tidak dilontarkan begitu hanya berhenti di 17 saja. Ada jaminan kehilangan pekerjaan," jelas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya