Pamali Pedagang Kelontong Bugis-Makassar Jual Silet dan Jarum pada Malam Hari

Beragam pamali masih mewarnai kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Bagi mereka yang berdagang tak boleh langgar pamali ini.

oleh Eka Hakim diperbarui 16 Sep 2019, 03:00 WIB
Pedagang kelontongan Bugis-Makassar percaya dengan pamali (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Selain bertani dan melaut, tak sedikit masyarakat Bugis-Makassar melakoni pekerjaan sebagai pedagang, baik berdagang di kampung sendiri, maupun di daerah perantauan.

Meski demikian, berdagang bagi masyarakat Bugis-Makassar bukan pekerjaan yang mudah. Selain dituntut keuletan, juga mengetahui ragam larangan (pamali) yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu.

Di antara larangan yang dimaksud yakni larangan bagi pedagang kelontong misalnya. Agar rezekinya bertambah, mereka dilarang meladeni pembelian barang-barang yang bersifat tajam saat malam hari. Di antaranya silet dan jarum.

"Kata nenek itu pamali. Kalau ada pembeli ingin beli jarum atau silet baik waktu Magrib apalagi sudah malam, pasti kami tolak halus dengan jawaban barangnya sudah habis," terang Syamsul, salah seorang pedagang kelontongan di Pasar Mandai, Kabupaten Maros, Sulsel, Minggu (15/9/2019).

Meski sulit ia jelaskan dengan akal sehat, tetapi Syamsul tetap mempercayai apa yang sudah diberitahukan oleh neneknya tersebut.

"Kemungkinan secara filosofi benda yang sifatnya tajam itu memang berbahaya. Jadi kami ambil saja hikmahnya. Pamali itu sakral bagi kami pedagang," ucap Syamsul yang mengaku sudah 15 tahun lebih melakoni usaha kelontong tersebut.

Ia mengatakan takut mencoba-coba untuk melanggar apa yang sejak awal sudah dipercayai sebagai pamali. "Sudah banyak kejadian. Jadi percaya atau tidak percaya hampir semua yang diberitahukan oleh nenek-nenek kami Bugis-Makassar terbukti. Saya dan keluarga masih mempercayai itu," ungkap Syamsul.

 

2 dari 2 halaman

Dilanggar Bisa Bangkrut

Pamali bagi pedagang Bugis-Makassar merupakan sesuatu yang keramat (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Hal yang sama juga diungkapkan Harlia (65), seorang pedagang kelontong di Desa Moncongloe Lappara, Kabupaten Maros.

Menurutnya, sebagai orang Bugis-Makassar, sesuatu yang sifatnya dianggap sebagai pamali merupakan hal yang keramat dan ia pribadi tidak berani coba-coba melanggarnya karena takut apes.

"Sudah dipesan oleh orangtua kami kalau berdagang kelontongan, jangan menjual barang dagangan yang sifatnya benda tajam. Kata orang tua itu merugikan bahkan memangkas rezeki yang didapatkan," tutur Harlia.

Meski demikian, ia juga mengaku tak tahu asal muasal munculnya pamali menjual barang dagangan yang sifatnya benda tajam pada malam hari.

"Sudah jadi pesan orangtua kami, yah kami terima begitu saja. Saya kira hampir semua pedagang kelontongan suku Bugis-Makassar pasti tahu itu," Harlia menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya