Hindari Sebut Korban Gempa Tsunami Sulteng Alami Trauma

Dalam situasi darurat, penyematan istilah trauma dan depresi pada korban bencana malah dikhawatirkan memicu dampak buruk berkepanjangan bagi para korban.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 05 Okt 2018, 19:00 WIB
Jokowi mengunjungi korban gempa dan tsunami yang dirawat di rumah sakit darurat di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri, Kota Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: Setkab)

Liputan6.com, Jakarta Istilah trauma healing atau penyembuhan trauma banyak digunakan terkait menyembuhkan kejiwaan di tengah bencana, seperti yang dialami korban gempa Palu, Donggala, dan sekitarnya. 

Mengutip laman Sehatnegeriku.kemkes.go.id pada Jumat (5/10/2018), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJI) dr. Eka Viora, Sp. KJ mengatakan, kondisi kejiwaan para penyintas gempa Palu tersebut sesungguhnya adalah situasi yang normal dalam kondisi abnormal.

"Kemarahan, tidak menerima kenyataan, atau kehilangan anggota keluarga, tentu hal tersebut akan berdampak pada perilaku seseorang. Apalagi ditunjang dengan kondisi listrik belum menyala, BBM sulit, bahan makanan menipis, dan sebagainya," kata Eka di Ruang Narantha Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta pada Kamis sore (4/10/2018).

 

Simak juga video menarik berikut ini:

 

 

2 dari 3 halaman

Istilah Trauma Healing Kurang Tepat

Warga mengevakuasi kantong jenazah berisi jasad korban tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9). Gelombang tsunami setinggi 1,5 meter yang menerjang Palu terjadi setelah gempa bumi mengguncang Palu dan Donggala. (AP Photo/Rifki)

Menurut Eka, dalam situasi darurat semacam itu, penyebutan istilah trauma, depresi, serta label yang disematkan para korban dengan gangguan stres pascatrauma sebaiknya dihindari. Dikhawatirkan memicu dampak buruk berkepanjangan bagi para korban.

“Di awal-awal terjadi ini sudah banyak yang menyebut bahwa para korban mengalami stres pascatrauma. Belum. Karena untuk menegakkan diagnosis pasca trauma itu ada kriterianya berdasarkan klasifikasi penyakit secara internasional (ICD-10) ada kriteria waktu,” imbuh Eka Viora.

Istilah psychological first aid atau pertolongan psikologis pertama untuk penyintas korban bencana adalah yang paling tepat diberikan, ketimbang "trauma healing". "Karena apa yang mereka rasakan, emosi yang mereka tunjukkan merupakan reaksi yang normal dalam situasi yang tidak normal," ujar Eka.

 

3 dari 3 halaman

Intervensi Dukungan Psikososial Bantu Pemulihan

Dua pasien anak korban gempa bumi dan tsunami Palu dirawat di halaman Rumah Sakit Undata, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10). Mereka dirawat menggunakan tenda bantuan dengan fasilitas seadanya. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Eka menambahkan, yang perlu diberikan pada situasi darurat semacam ini adalah dukungan sosial dan psikososial. Seperti mendengarkan keluhan mereka, serta mempermudah pemenuhan kebutuhan dasar.

Hal ini membantu kestabilan emosi para penyintas agar kembali pulih dan menuju normal emotional state. Dengan intervensi dukungan psikososial yang tepat sejak awal, akan membantu mempercepat proses pemulihan.

Selain itu, semua penyintas baik anak maupun dewasa, perempuan dan laki-laki, membutuhkan psychological first aid atau dukungan kesehatan jiwa dan psikososial. Hal ini perlu diberikan oleh semua relawan yang menghadapi langsung para korban yang selamat dari bencana.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya