Pelukan Mengakhiri Perang Antara Pemimpin Ethiopia dan Eritrea Selama 20 Tahun

Pemimpin Ethiopia dan Eritrea akhirnya saling berpelukan dan berdamai setelah 20 tahun saling terlibat konflik.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 10 Jul 2018, 08:15 WIB
Pemimoin Ethiopia dan Eritrea bertemua dengan hangat untuk pertama kalinya sejak terlibat perang selama 20 tahun terakhir (AP/Mulugeta Ayene)

Liputan6.com, Asmara - Dengan pelukan dan sorak-sorai, pemimpin Ethiopia dan Eritrea bertemu untuk pertama kalinya di ibu kota Asmara pada Minggu, 8 Juli 2018.

Pertemuan itu menandai mencairnya ketegangan di antara kedua negara Afrika Timur, yang telah berlangsung selama 20 tahun terakhir.

Dalam kunjungan tersebut, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Senin (9/7/2018), Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mendarat di ibu kota Eritrea, Asmara, dengan penuh kehangatan oleh Presiden Eritrea Isaias Afwerki.

"Sebuah momen yang benar-benar bersejarah, ketika kedua pemimpin negara saling menyambut dengan pelukan erat," kata Yemane G Meskel, Menteri Informasi Eritrea, via kicauan di Twitter.

Kunjungan itu berlangsung sebulan setelah PM Abiy mengejutkan banyak pihak, dengan menyetujui penuih kesepakatan damai yang mengakhiri perang perbatasan antara kedua negara.

Sebelumnya, delegasi pejabat Eritrea yang dipimpin Menteri Luar Negeri Osman Saleh, telah mengunjungi ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, bulan lalu untuk melanjutkan pembicaraan damai.

Adapun pertemuan pekan ini, menurut kepala staf pemerintahan PM Abiy, Fitsum Arega, bertujuan untuk "lebih memperdalam upaya-upaya mewujudkan perdamaian abadi."

"Kedua negara kami berbagi sejarah dan ikatan yang tiada bandingnya," kata Fitsum di Twitter.

"Kita sekarang bisa mengatasi dua dekade ketidakpercayaan, dan bergerak menuju arah baru yang cerah," lanjutnya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

 

2 dari 2 halaman

Konflik Berlangsung Sejak Lama

Granat dilempar ke lokasi pawai dukungan untuk PM baru Ethiopia (Yonas Tadese/AFP)

Eritrea, yang merupakan akses laut terdekat Ethiopia, berhenti berhubungan dengan Addis Ababa sejak 1993 silam.

Situasi tersebut kian memburuk ketika beberapa negara di Afrika Timur bertempur dalam perang perbatasan berdarah, yang meletus pada 1998. Perang dua tahun itu menyebabkan lebih dari 80 ribu orang tewas dan ratusan ribu orang mengungsi.

Perjanjian perdamaian yang didukung PBB pada tahun 2000 memberikan wilayah perbatasan yang disengketakan ke Eritrea, tetapi kesepakatan itu tidak pernah dilaksanakan.

Sejak itu, kedua negara terus berselisih satu sama lain, dalam salah satu konflik yang berlangsung paling lama di Afrika.

Keputusan menyepakati perdamaian secara penuh adalah reformasi terbesar yang dilakukan oleh Perdana Menteri Abiy Ahmed, sejak mulai memimpin Ethiopia sejak April lalu.

PM Abiy disebut mempercepat gelombal reformasi, dengan membebaskan para jurnalis dan pihak oposisi dari penjara, melonggarkan keran ekonomi, dan membuka blokir ratusan situs web, setelah bertahun-tahun protes anti-pemerintah menuntut lebih banyak kebebasan.

Hallelujah Lulie, direktur program Amani Africa, sebuah lembaga think-tank tentang kebijakan Afrika yang berbasis di Ethiopia, percaya bahwa sejarah bersama kedua negara lebih penting daripada perbedaan.

"Ethiopia dan Eritrea memiliki sejarah yang sangat kaya, berbagi budaya, agama dan juga kenangan dalam trauma," kata dia kepada Al Jazeera.

"Dan kedua negara memiliki potensi besar untuk kerja sama ekonomi, budaya dan politik - yang akan memiliki dampak besar bagi keamanan dan integrasi Tanduk Afrika dan Afrika Timur yang lebih besar," ia optimistis.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya