Ahli Sebut Wajar Pengadilan Cabut Hak Politik Anas Urbaningrum

Majelis hakim mencabut hak politik terpidana kasus korupsi Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Anas Urbaningrum pada September 2014 lalu.

Oleh JawaPos.com diperbarui 29 Jun 2018, 19:24 WIB
Mantan politisi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum saat mengikuti sidang lanjutan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi dan pencucian uang proyek P3SON Hambalang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (8/6). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Jakarta - Majelis hakim mencabut hak politik terpidana kasus korupsi Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Anas Urbaningrum pada September 2014 lalu. Hakim menilai kasus korupsi Anas dilakukan atas dasar politik.

Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eva Yustisiana pada sidang peninjauan kembali (PK) pun menanyakan hal itu kepada ahli yang dihadirkan Anas Urbaningrum. Dia berpendapat pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera.

"Apa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi?" tanya Eva kepada ahli hukum administrasi negara Dian Puji Simatupang di ruang sidang Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (29/6/2018).

Kemudian, Dian menganggap hal itu merupakan wajar, karena dalam Undang-Undang Tipikor telah mengatur pencabutan hak politik terhadap pejabat publik yang terjerat kasus korupsi.

"Itu silakan, karena Undang-Undang Antikorupsi juga menyatakan demikian, tetapi dalam syarat pokoknya juga diatur sesuai keputusan pengadilan," terang Dian.

Selain itu, jaksa pun mempersoalkan adanya kerugian negara dari kasus yang menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut. Sebab, kerugian negara merupakan salah satu hal yang diperkarakan Anas Urbaningrum.

"Diperlukan adanya audit untuk menghitung kerugian negara?" tanya kembali jaksa Eva.

Menanggapi hal ini, Dian berpendapat audit diperlukan untuk menentukan jumlah pasti kerugian negara dari perkara korupsi. "Hukum administrasi membedakan pada suap dan tipuan sepanjang OTT tidak memerlukan audit," Dian menjelaskan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Upaya Hukum Anas

Pada kasus ini, Anas divonis delapan tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor karena dinilai terbukti menerima gratifikasi proyek Hambalang senilai Rp20 miliar. Uang tersebut kemudian dicuci dengan pembelian tanah dan bangunan.

Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu Anas juga harus membayar pengganti uang yang telah dikorupsi sebesar Rp57 miliar dan USD 5,2. juta.

Tak puas dengan vonis di pengadilan tingkat pertama, Anas mengajukan upaya hukum banding. Pengadilan Tinggi meringankan hukumannya menjadi 7 tahun penjara.

Tak cukup, Anas kembali melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Namun MA menolak kasasi Anas.

Majelis hakim yang diketuai oleh mantan hakim agung Artidjo Alkostar malah memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun.

Anas dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dia juga dianggap melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP, dan Pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ikuti berita menarik lainnya di Jawapos

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya