DK PBB Lakukan Pertemuan Darurat Pasca-Serangan Senjata Kimia di Suriah

Para anggota Dewan Keamanan PBB melakukan pertemuan darurat untuk menyikapi serangan senjata kimia di Suriah.

oleh Afra Augesti diperbarui 09 Apr 2018, 13:03 WIB
Tentara Suriah yang terlihat di pinggiran timur Douma, 8 April 2018. Mereka hendak melanjutkan pertempuran sengit mereka di Ghouta Timur. (Foto: AFP PHOTO)

Liputan6.com, Geneva - Sembilan anggota Dewan Keamanan PBB dikabarkan menggelar pertemuan darurat pada hari ini, guna membahas serangan kimia yang diduga dilancarkan di Suriah. Dalam insiden mematikan tersebut, sedikitnya 70 orang dilaporkan tewas, termasuk anak-anak.

Kesembilan negara yang dimaksud ialah Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Polandia, Belanda, Swedia, Kuwait, Peru, dan Pantai Gading. Demikian seperti dikutip dari Radio New Zealand, Senin (9/8/2018).

Melalui "kicauan" di Twitter, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menganggap Presiden Suriah Bashar al-Assad seperti "hewan".

Mengenai kemungkinan serangan balik yang dilakukan Amerika Serikat, penasihat Kementerian Keamanan Dalam Negeri, Tom Bossert, mengatakan kepada televisi ABC, "Kami sedang mencari celah untuk menyerang pada titik ini."

Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengancam akan menyerang Suriah, jika pemerintah Bashar al-Assad benar-benar terbukti menggunakan senjata kimia, sehingga mengenai warga sipil tak berdosa.

Dugaan penggunaan senjata kimia di Suriah yang mengenai warga sipil, termasuk anak-anak. (Foto: SYRIAN CIVIL DEFENSE (WHITE HELMETS))

Sedangkan Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, mengatakan pada hari Minggu bahwa penyelidikan harus dilakukan segera mungkin.

"Kami berkomunikasi dengan sekutu kami, menyusul adanya laporan terbaru. Mereka yang bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia telah kehilangan integritas moral dan harus dimintai pertanggungjawaban," tegasnya.

Sebelumnya, Donald Trump memerintahkan serangan udara dilakukan di pangkalan udara Suriah, setelah serangan kimia serupa terjadi di Kota Khan Sheikhoun, menewaskan lebih dari 80 orang pada April 2017.

PBB dan Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons kemudian menyatakan bahwa pemerintah Suriah-lah yang bertanggung jawab atas serangan tersebut: menggunakan gas Sarin untuk melawan para pemberontak dan membunuh warga sipil di sekitarnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Laporan Palsu?

Asap mengepul ketika tentara Tentara Suriah bertempur pada 8 April 2018, di tanah pertanian di pinggiran timur Douma. (Foto: AFP)

Sebuah pernyataan bersama (joint statement) dari organisasi bantuan medis Syrian American Medical Society (SAMS) dan layanan pertahanan sipil mengatakan, 49 orang meninggal dalam serangan di Kota Douma kemarin, Minggu, 8 April 2018.

Sementara yang lain menyebut angka lebih tinggi, salah satunya Union of Medical Care and Relief Organizations yang menjalankan fasilitas medis di Ghouta Timur. Menurut keterangan mereka, setidaknya 70 orang dilaporkan tewas.

SAMS menyatakan, dari 49 korban meninggal yang ditangani, pada jasad mereka ditemukan adanya gejala paparan gas kimia.

"Lebih dari 500 orang dibawa ke pusat medis dengan kondisi seperti itu," kata SAMS.

Sebuah video yang direkam oleh satuan petugas penyelamat, White Helmets, memperlihatkan sejumlah pria, wanita, dan anak-anak terbaring tak bernyawa di dalam rumah. Mulut mereka berbusa.

Douma adalah benteng terakhir para pemberontak yang ada di wilayah Ghouta Timur, di luar Damaskus. Pemerintah Suriah dan Rusia kerap melancarkan serangan yang diklaim hanya menyasar ke mereka, tapi dalam kasus kali ini, keduanya membantah menggunakan senjata kimia.

Media pemerintah Suriah menuduh media "teroris" membuat laporan palsu tentang penggunaan senjata kimia, demi menghalangi pasukan pemerintah yang masuk melalui Ghouta Timur.

Sementara itu, Kemenlu Rusia mengatakan bahwa laporan seperti itu dibuat sebagai dalih terwujudnya intervensi militer di Suriah. Sedangkan Kemenlu Iran menyebut, laporan ini tidak didasarkan pada fakta, sehingga Amerika Serikat dan negara-negara Barat bisa punya alasan untuk melakukan tindak militer.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya