Yusril Soal MK Tolak PT Pilpres 0%: Kecewa, dan Biasa Kalah

Mahkamah Konstitusi menolak ambang batas pencalonan presiden pada Pilpres 2019 sebesar 0 persen.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 11 Jan 2018, 23:07 WIB
Yusril Ihza Mahendra memberi keterangan kepada wartawan usai sidang di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Senin (15/5). Pasal yang didakwakan yakni pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, merasa kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak ambang batas pencalonan presiden 0%. pada Pilpres 2019. PT calon presiden pun tetap 20% mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 222.

"Apapun juga kekecewaan terhadap putusan MK, baik putusan aklamasi maupun dissenting opinion, putusan itu berlaku final dan mengikat. Ruang berdebat mengenai presidential threshold kini berpindah menjadi wacana akademis saja. Secara hukum, masalah itu sudah selesai dan final," ucap Yusril dalam keterangannya, Kamis (11/1/2018).

Meski begitu, ia mengaku telah terbiasa kalah terlebih oleh pemegang otoritas dan dengan para Hakim MK.

"Orang-orang seperti saya, sudah biasa mengalami kekalahan berhadapan dengan pemegang otoritas, termasuk pula para hakim MK. Pikiran dan pendapat saya tidak selalu sama dengan pendapat orang lain. Hal itu saya anggap wajar saja," jelas Yusril.

Dia menuturkan, apa yang dilakukannya adalah salah satu bentuk idealisme yang harus terus diperjuangkan. Walau suatu ketika bisa kalah atau dikalahkan, namun kehidupan manusia dan peradaban akan terus berlanjut.

"Maka semuanya saya serahkan kepada sejarah. Apakah pendapat saya atau pendapat mayoriyas hakim MK yang benar dalam hal ambang batas pencalonan Presiden ini. Biarlah sejarah yang menjawabnya dengan suatu harapan, generasi yang akan datang akan membaca data dan dokumen masa sekarang yang merekam semua perdebatan itu. Dan nanti akan menilainya dengan penuh kejujuran terhadap data sejarah yang kita tinggalkan," ungkap Yusril.

Dia menuturkan, bahwa Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden tersebut tidak sesuai dengan semangat konstitusi di Indonesia.

"Yang tetap dipertahankan oleh MK itu sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan spirit konstitusi kita," Yusril memungkas.

2 dari 2 halaman

Putusan MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Mahkamah Konstitusi menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.

"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (11/1/2018).

Adapun pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman diantaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pileg 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019.

Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial.

Dengan presidential threshold, maka Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.

MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya