Awas, Pembobol ATM Gentayangan Selama Lebaran

Sebagian besar ATM di Indonesia tidak dilindungi perangkat keamanan yang mumpuni.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 19 Jun 2017, 18:31 WIB
Chairman CISSRec, Pratama Persadha mempresentasikan temuannya. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) di Indonesia, mayoritas masih memanfaatkan sistem berbasis Windows XP. Celakanya, ATM berbasis Windows XP tersebut sangat rawan skimming alias penyalinan data.

Penelitian yang dilakukan CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) di sembilan kota besar, ada kecenderungan masyarakat kita enggan untuk mengamankan siber secara mandiri. Ini bisa disebabkan oleh masyarakat yang memang belum merasakan langsung akibat serangan siber.

"Tempo hari ada serangan Wannacry. Riset kami menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat di kota besar tanah air sudah menyadari ada resiko keamanan pada SMS dan internet banking, perbankan, juga e-commerce," kata Chairman CISSReC, Pratama Persadha dalam surat elektronik yang dikirimkan ke Liputan6.com, Senin (19/6/2017).

Meski demikian, Pratama menyatakan bahwa hanya 25 persen masyarakat yang mengetahui bahwa mesin ATM di Indonesia sebagian besar menggunakan sistem Windows XP. Microsoft selaku produsen Windows XP sendiri sudah menghentikan dukungan keamanannya sejak 2013.

"Ini meningkatkan resiko keamanan di ATM-ATM kita. Ini yang menjadi alasan banyaknya tindak kejahatan skimming pada ATM di tanah air, dan uniknya banyak pelakunya berasal dari warga negara asing," kata Pratama.

Dari hasil riset, 57 persen responden menjawab tidak yakin dengan keamanan SMS/internet banking di Indonesia. Hanya 43 persen responden yang menjawab yakin dengan keamanan SMS/internet banking di Indonesia.

Lalu, sebanyak 66 persen menjawab tidak yakin dengan keamanan e-commerce di Indonesia. Masih ada 34 persen responden yang merasa yakin dengan keamanan e-commerce di Indonesia.

Penelitian itu juga menunjukkan ada 74 persen responden yang menyatakan bahwa mereka paham dan sadar bahwa memasukkan data pribadi ke aplikasi atau layanan online berpotensi mengganggu privasi. Ada 13 persen yang mengatakan tidak mempermasalahkan soal privasi itu dan 13 persen lainnya menyatakan tidak tahu.

Optimisme kepercayaan masyarakat masih ditunjukkan adanya 75 persen responden yang menjawab tidak pernah menjadi korban peretasan akun surel dan media sosial. Kemudian, 19 persen menjawab pernah menjadi korban peretasan. Sisanya menjawab tidak tahu apakah pernah mengalami peretasan.

CISSReC berharap pemerintah mendorong industri perbankan dan semua sektor yang menggunakan sistem informasi elektronik untuk meningkatkan keamanan sistemnya. Ini semua wajib dilakukan agar keraguan masyarakat bisa dieliminir dan otomatis meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.

Populasi survei ini adalah warga negara Indonesia di sembilan kota besar meliputi DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Bali dan Makassar. Survei ini menggunakan metode stratified multistage random sampling.

Jumlah sampel dalam survei ini adalah 400 responden dengan margin of error 4.9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Metode pengumpulan data adalah responden terpilih diwawancara secara tatap muka menggunakan kuesioner oleh pewawancara yang telah dilatih. 

Kendali mutu survei adalah pewawancara lapangan minimal mahasiswa atau sederajat dan mendapatkan pelatihan (workshop) secara intensif di setiap pelaksanaan survei. Pengambilan data survei (penentuan responden dan wawancara di lapangan) dilaksanakan pada 1-9 Juni 2017.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya