Alfonsa Horeng, Perempuan Penerus Tradisi Budaya Flores

Alfonsa Horeng, sosok perempuan ini belum begitu populer di Indonesia.

oleh Karmin Winarta diperbarui 07 Apr 2017, 11:00 WIB
Foto: Karmin Winarta

Liputan6.com, Jakarta Alfonsa Horeng, sosok perempuan ini belum begitu populer di Indonesia. Padahal, reputasinya sebagai perempuan yang teguh memelihara budaya dan adat tradisi di Flores sudah mendunia.

Sampai hari ini, banyak penghargaan yang telah diterimanya, yakni Meexa Award (2006), Australian Leadership Award (2008), SheCan
Tupperware Award: Inspire Woman (2010), Kartini Award (2011),‘Master Weaver of Flores Indonesia by Fashion Institute of Technology, Manhattan, New
York, US (2012), Indonesia Digital Women Award: Cultural Artist (2013).

Foto: Alfonsa Horeng

Perempuan dari Desa Nita, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini mendirikan semacam sanggar yang diberi nama Lepo Lorun yang artinya 'rumah tenun'. Dengan Lepo Lorun miliknya, ia memberdayakan para penenun di wilayah Maumere dan sekitarnya.

Ditemui di Adiwastra Nusantara 2017, Kamis, 6 April 2017 ia menyampaikan aktivitas di sanggarnya.

Di Lepo Lorun ia memberikan workshop proses membuat kain tenun ikat dari awal sampai menjadi selembar kain tenun ikat yang elok. Mulai dari memisahkan kapas dengan bijinya, memintal menjadi benang, mewarnai, membuat pola, sampai menenun.

Selembar kain tenun ikat NTT memerlukan sedikitnya 45 tahapan atau proses. Sebelum memulai menenun para penenun biasanya melakukan ritual tertentu. Kain tenun bukan semata-mata kain biasa. Ada nilai-nilai budaya di dalamnya.

Foto: Alfonsa Horeng

Karena itu, perempuan yang telah berkelana ke 32 negara mengenalkan tenun ikat ini menolak keras disebut pengrajin. "Saya adalah maestro. Tenun adalah mahakarya kami, nilai-nilai hidup kami. Tenun bukanlah produk yang bisa disamakan dengan asbak atau gantungan kunci yang bisa dibuat secara massal," katanya.

Ia tak ubahnya bank data budaya dan tradisi Flores yang bisa diretrieve kapan saja. Ia sangat fasih menjelaskan ritual kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal. Ia juga memahami makna motif-motif kain tenun ikat yang jumlahnya ratusan.

Workshop di Lepo Lorun tidak hanya diikuti oleh anak-anak muda setempat, tetapi juga para turis lokal dan asing dari berbagai negara. 

Foto: Alfonsa Horeng

Alfonsa tidak hanya menyuguhkan kain-kain tenun yang sudah ada sejak 596 Sebelum Masehi ini. Ia juga mengenalkan kesenian tari, menyanyi, kuliner, keelokan alam Flores dan kearifan lokal yang susah dimengerti oleh generasi milenial.

Misalnya para orang pintar atau orang-orang yang mempunyai kemampuan menyembuhkan sakit gigi hanya dengan ramuan tertentu, atau bahkan mewaraskan orang gila.

Kepada generasi muda Flores, ia mengedukasi mereka tidak hanya soal adat dan budayanya yang mereka miliki, tetapi juga keahlian bagaimana mengembangkan dan mengenalkan budaya Flores kepada dunia.

Foto: Alfonsa Horeng

Di Lepo Lorun, anak-anak belajar bahasa Inggris, fotografi, film, housekeeping, leadership dan topik-topik kekinian agar mereka bisa mengejar ketertinggalan. Alfonsa ingin mewujudkan ekoturism di wilayahnya.

Ia juga berkolaborasi dengan universitas setempat untuk menginventarisaso bentuk rumah adat Flores yang telah lama menghilang. Kini salah satu bentuk rumah adat itu telah dibuat maketnya.

Orang Flores sebenarnya mempunyai 12 teknik menenun. Namun sayang delapan di antaranya sudah lenyap, tak ada lagi penenun yang menguasainya. Kedelapan teknik menenun yang hilang ini pun belum didokumentasikan.

Dan agar warusan budaya itu tidak hilang, Alfonsa berusaha meneruskannya melalui sanggarnya, Lepo Lorun. Dalam waktu dekat, ia akan mengikuti pameran ke Jepang dan Australia.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya