Bukti Kasus Suap Mesin Pesawat yang Menjerat Emirsyah Satar

Bukti-bukti keterlibatan Emirsyah Satar didapat dari penyelidikan lembaga antirasuah Singapura dan Inggris, CPIB dan SFO.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 20 Jan 2017, 15:11 WIB
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif (kiri) memberikan keterangan pers usai mengadakan pertemuan dengan Ketua KPPU, Syarkawi Rauf di Jakarta, Selasa (20/12). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengantongi alat bukti keterlibatan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dalam kasus dugaan suap pengadaan mesin pesawat.

"Salah satunya misal sistem komunikasi yang dilakukan, catatan perbankan yang dilakukan, dan lain-lain," ujar Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, di gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (20/1/2017).

Bukti-bukti tersebut juga dia dapat dari penyelidikan lembaga antirasuah Singapura dan Inggris, CPIB dan SFO. Kasus ini merupakan dugaan suap lintas negara, sehingga membutuhkan kerja sama dengan pihak asing.

"Biasanya kalau SFO dan CPIB itu berikan bukti-bukti hanya untuk kebutuhan penyidikan dan kebutuhan pengadilan, jadi kami enggak bisa disclose itu," kata Laode.

Demi kepentingan penyidikan, Laode tak mau menjelaskan lebih jauh terkait bukti yang telah dikantongi KPK. Termasuk apakah Emirsyah Satar sengaja meminta atau diberi suap Rolls Royce selaku perusahaan yang mengadakan mesin tersebut.

"Jadi, kalau gitu kan selalu ada kesepakatan dua pihak. Jadi tidak mungkin hanya satu belah pihak. Kan, enggak mungkin menari sendiri. Menari itu selalu dua, sekurang-kurangnya dua," kata Laode.

KPK telah mengungkap kasus dugaan suap terkait pengadaan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. PT Rolls Royce merupakan perusahaan yang menyediakan mesin pesawat tersebut.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka, yaitu Emirsyah Satar (ESA) mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia periode 2005-2014, dan Soetikno Soedarjo (SS), pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA).

Emir diduga menerima suap senilai 1,2 juta euro dan US$ 180 ribu atau setara Rp 20 miliar. Demikian pula dengan barang senilai US$ 2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia.

Sebagai penerima, Emir disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan SS selaku pemberi suap disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya