Pemerintah Bakal Longgarkan Ekspor Nikel Mentah

Nikel kandungan rendah dinilai tak bisa diproses dan tidak ada pasar dalam negeri.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 04 Okt 2016, 20:52 WIB
Nikel kandungan rendah dinilai tak bisa diproses dan tidak ada pasar dalam negeri.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan buka ekspor mineral mentah jenis nikel kandungan di bawah 1,8 persen setelah ada rencana longgarkan ekspor mineral olahan (konsentrat).

Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi Sumber Daya ‎Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, nikel kandungan rendah di bawah 1,8 persen akan bisa diekspor mentah, karena tidak bisa diproses dan tidak ada pasar di dalam negeri.

"Nikel yang kandungannya 1,8 lagi kami hitung karena di dalam negeri tidak bisa diproses maka kami pertimbangkan untuk diekspor," kata Luhut, di Kantor Kemeterian ESDM, Jakarta, Selasa (4/10/2016).

‎Sebelumnya PT Aneka Tambang Tbk (Persero)/Antam menginginkan kelonggaran ekspor mineral jenis nikel.  Direktur Utama Antam, Tedy Badrujaman mengatakan, ‎sebagai BUMN yang merupakan kepanjangan tangan negara dalam pengelolaan sumber daya mineral, Perseroan berkomitmen untuk mendukung kebijakan hilirisasi mineral Pemerintah.

Hal ini dibuktikan dengan telah berdirinya Pabrik FeNi I, II dan III di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, Pabrik Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat, dan pabrik Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia di Pulogadung, Jakarta.

Meski demikian, Antam memiliki produksi bijih hasil tambang yang merupakan by product tambang yang belum ekonomis untuk mensuplai pabrik Antam ataupun pabrik dalam negeri lainnya.

Padahal ini sangat bernilai di luar negeri sehingga bisa ada tambahan pemasukan bagi negara dan pendanaan bagi proyek pertumbuhan apabila dapat diekspor, dibandingkan hanya sebagai buangan tanpa nilai ekonomis.
 
Bijih mineral memiliki beberapa karakteristik yang tidak seluruhnya dapat diolah di dalam negeri karena keragaman teknologi pengolahan masing-masing karakteristik mineral bijih dan tingkat keekonomian yang ditentukan oleh besaran investasi dan biaya produksi.

Adapun pemanfaatan bijih mineral yang belum diolah tersebut dapat dilakukan melalui ekspor bijih mineral mengingat keterbatasan kapasitas pabrik pemrosesan di dalam negeri.

Bila Antam diberi kepercayaan untuk mengekspor kembali, maka perseroan akan mengalokasikan bijih nikel kadar tinggi untuk seluruh smelter dalam negeri dengan harga yang lebih murah dari harga pada saat ini.

Sedangkan, untuk bijih nikel yang tidak dapat dikonsumsi di dalam negeri akan diekspor. Bijih sisa ini mempunyai kadar yang lebih bagus dari bijih nikel Filipina sehingga bila bijih nikel dari Indonesia masuk ke pasar ekspor maka akan mensubstitusi bijih nikel dari Filipina.

Dengan jumlah cadangan dan sumber daya nikel sejumlah 988,30 juta wmt yang terdiri dari 580,20 juta wmt bijih nikel kadar tinggi dan 408,10 juta wmt bijih nikel kadar rendah, Antam akan mampu untuk memasok kebutuhan smelter dalam negeri.

"‎Dengan demikian harga nikel akan tetap stabil dan minat investor akan tetap tinggi seperti saat ini," ucap Tedy beberapa waktu lalu.

Untuk memanfaatkan cadangan dan sumber daya nikel yang dimiliki, selain melakukan penjualan   bijih domestik, saat ini Antam tengah melaksanakan pembangunan pabrik feronikel berkapasitas 13.500 ton nikel dalam feronikel (TNi) di Halmahera Timur, Maluku Utara yang direncanakan selesai pada 2018.

Untuk mengoptimalkan nilai tambah potensi bauksit yang dimiliki, saat ini Antam bekerjasama dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum) sedang melaksanakan pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Tahap 1 berkapasitas 1 juta ton di Mempawah, Kalimantan Barat yang direncanakan selesai pada 2019.

Melalui pengoperasian SGAR, Antam dan Inalum dapat mengolah cadangan bauksit yang ada sehingga Inalum akan memperoleh pasokan bahan baku aluminium dari dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor alumina sekaligus menghemat devisa. (Pew/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya