Ketua Komisi VIII DPR: Gafatar Menyimpang

Komisi VIII DPR‎ yang membidangi agama dan sosial ikut buka suara terkait hilangnya beberapa orang yang direkrut ormas Gafatar.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 13 Jan 2016, 13:34 WIB
7 Pohon Kelapa di Gedung DPR. (Faisal R Syam/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi VIII DPR‎ yang membidangi agama dan sosial ikut buka suara terkait hilangnya beberapa orang yang direkrut ormas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay mengatakan, kebebasan bersyarikat dan berkumpul yang diberikan negara semestinya bukanlah kebebasan tanpa batasan.

Menurut dia, keberadaan seluruh organisasi kemasyarakatan haruslah sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, organisasi kemasyarakatan tersebut tidak boleh menimbulkan keresahan dan mengganggu keamanan.

"Karena itu, tidak semua organisasi bebas berkembang dan merekrut anggota. Apalagi, cara-cara perekrutannya dilakukan secara tertutup dan menimbulkan keresahan. Gafatar, dari karakteristik dan pola gerakannya, termasuk salah satu yang menyimpang dan bisa membahayakan kehidupan sosial," kata Saleh di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/1/2016).

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai, pola perekrutan anggota Gafatar dilakukan dengan berbagai metode. Tergantung target sasaran yang ingin direkrut. Termasuk di antaranya melakukan pendekatan melalui kerja-kerja sosial yang bisa menarik simpati.

"Bagi para mahasiswa misalnya, Gafatar bisa saja melakukan perekrutan melalui halaqah, pertemuan terbatas, atau pengajian-pengajian kecil. Mahasiswa yang direkrut pada umumnya adalah mereka yang pengetahuan agamanya masih awam. Sehingga ketika dikenalkan dengan suatu aliran pemikiran dan gerakan tertentu tidak menolak dan mudah menerima," papar dia.

Demikian juga bagi pekerja profesional, gerakan seperti ini cenderung memanfaatkan tingkat pemahaman keagamaan yang terbatas. "Tidak heran jika organisasi ini diikuti oleh mereka yang dinilai mapan secara intelektual dan finansial. Bahkan lebih dari itu, rela meninggalkan keluarga untuk menjalankan 'misi' organisasi," ujar Saleh.

Selain itu, Saleh mengatakan, tidak tertutup kemungkinan organisasi seperti ini juga merekrut orang-orang yang secara ekonomi lemah karena faktor tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, mereka ikut bergabung.

Pada mulanya, lanjut dia, hanya sekadar mengisi waktu luang. Namun pada tingkat tertentu kemudian justru menjadi kegiatan utama bahkan menjadi modus eksistensinya.

Mengatasi gerakan seperti ini tidak mudah. Apalagi disinyalir organisasi ini bisa bermetamorfosis dari satu nama dan bentuk tertentu kepada nama dan bentuk lainnya. Karena itu, diperlukan kerjasama sinergis antara pemerintah dan masyarakat.

"Sebetulnya, masyarakat paling tahu tentang perubahan yang ada di sekitarnya. Masyarakatlah semestinya ujung tombak dalam menjaga lingkungannya. Jika ada yang dinilai aneh dan menyimpang, bisa langsung dilaporkan kepada pihak berwenang," kata dia.

Untuk itu, pemerintah dituntut untuk proaktif melakukan sosilisasi tentang organisasi dan gerakan menyimpang yang saat ini ada di tengah masyarakat. Kementerian agama, misalnya, bisa memanfaatkan jaringannya sampai ke tingkat KUA di seluruh kecamatan yang ada.

Menurut dia, melalui sosialisasi, pandangan kritis masyarakat akan terbangun. Dengan begitu, masyarakat tidak mudah tergiur untuk masuk dan bergabung.

"Pemerintah juga dituntut bekerjasama dengan organisasi-organisasi keagamaan dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. Tokoh-tokoh ormas yang dikenal dan diakui kredibilitasnya diyakini sangat efektif dalam membentengi umat. Ini merupakan pekerjaan yang tidak sederhana. Karena itu, perencanaan dan keberlanjutannya harus menjadi perhatian utama," tandas Saleh.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya