MK Tolak Syarat Dukungan Pasangan Calon, 4 Hakim Beda Pendapat

Pemohon mengkhawatirkan adanya potensi penyalahgunaan dalam mendulang dukungan lebih dari 60 persen.

oleh Oscar Ferri diperbarui 11 Nov 2015, 17:09 WIB
Ketua MK, Arief Hidayat memimpin sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/11). Sidang Pengujian UU No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU NO. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan syarat pasangan calon kepala daerah yang diusung partai politik. Meski demikian, 4 hakim MK berbeda pendapat dalam putusan yang dibacakan hari ini, Rabu (11/11/2015).

"Bahwa dalam hal ini 4 orang hakim konstitusi berbeda pendapat‎ dalam praktik koalisi (gabungan partai) dalam Pilkada merupakan konstitusional dan merupakan suatu kewajaran. Akan tetapi dirasa tetap perlu ada pembatasan untuk menghindari absolutisme kekuasaan," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta, Rabu (11/11/2015).

4 Hakim Konstitusi yang beda pendapat itu, yakni Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo. Pembatasan yang dimaksud adalah soal syarat dukungan terhadap pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 1 dan 4 UU Pilkada.

Dalam amar putusannya,‎ Hakim Konstitusi hanya mengabulkan Pasal 157 ayat 8 UU Pilkada. Sisanya ditolak. Pasal 40 ayat 1 dan 4 UU Pilkada mengatur mengenai syarat dukungan partai politik dan atau gabungan politik dalam mendaftarkan pasangan calon. Yakni, telah memenuhi paling sedikit 20 persen jumlah kursi di DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu legislatif anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Syarat dukungan menurut pemohon, Doni Istitanto Hari Mahdi, bisa berpotensi melebihi yang disyaratkan dalam Pasal 40 ayat 1 dan 4 itu. Misalnya, seorang calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik bisa mendapatkan dukungan 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen atau bahkan 100 persen dari jumlah kursi anggota DPRD. Dengan begitu, maka pasangan calon yang bersangkutan itu telah menutup peluang pasangan calon lain guna mendapat syarat dukungan minimal 20 persen dari jumlah kursi anggota DPRD.

"Merupakan hak konstitusional dari pasangan calon untuk mendapatkan dukungan lebih dari setengah atau lebih dari 50 persen jumlah kursi anggota DPRD yang bersangkutan," ujar pemohon dalam dalil pokok perkaranya.

"Namun demikian hak tersebut tidak boleh menyebabkan salah satu pasangan calon memborong dukungan‎ dari seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPRD, sehingga menutup kesempatan pasangan calon lainya untuk bisa mendapatkan dukungan," lanjut Doni.

Pemohon meminta MK agar menegaskan persyaratan dukungan maksimum 60 persen dari jumlah kursi anggota DPRD. Sehingga 40 persen lainnya dapat diberikan untuk pasangan calon lain. Hal itu juga bertujuan agar syarat dukungan dalam Pasal 40 ayat 1 dan 4 tersebut tidak menjadi alat‎ untuk melakukan pemborongan dukungan dan kecurangan.

Pemohon mengkhawatirkan adanya potensi penyalahgunaan dalam mendulang dukungan lebih dari 60 persen. Padahal sisa dukungan yang tidak didaftarkan itu harusnya bisa diperoleh oleh pasangan calon lain untuk memenuhi syarat minimal dukungan.

"Dengan modus tersebut, maka dapat dipastikan kemungkinan pasangan calon lain tidak dapat meme‎nuhi syarat minimum 20 persen dari jumlah kursi anggota DPRD," ujar Doni.

Modus Calon Tunggal

‎Karenanya, 4 Hakim Konstitusi itu berbeda pendapat dengan 5 Hakim Konstitusi lainnya yang menolak mengabulkan dalil pemohon dalam Pasal 40 ayat 1 dan 4 itu. 4 Hakim Konstitusi itu sependapat dengan pemohon sebagaimana dalil yang telah diuraikan dalam pokok permohonannya.

"Hal demikian sangatlah beralasan, guna mencegah terjadinya monopoli dukungan oleh pasangan calon tertentu atau pemilik modal. Sehingga dikhawatirkan akan meniadakan kompetisi dan demokrasi," ujar Anwar Usman.

Selain itu, 4 Hakim Konstitusi yang beda pendapat ini menilai, jika tidak dibatasi, yakni maksimal 60 persen dukungan dari jumlah kursi anggota DPRD, maka dikhawatirkan memunculkan borongan dukungan dari pasangan calon tertentu yang dapat menutup kesempatan pasangan calon lain untuk mendapat dukungan minimal 20 persen dari partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD bersangkutan.

Dengan begitu, tanpa ada batasan maksimal dukungan, maka penyelenggaraan pilkada ‎di daerah bersangkutan berpotensi menimbulkan hanya satu pasangan calon saja yang mendaftar. Dengan begitu, pilkada tersebut hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal.

"Jika tidak ada pembatasan maksimal atau paling banyak 60 persen memungkinkan memunculkan pasangan calon tunggal," kata Patrialis.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka seharusnya permohonan pemohon dikabulkan. Khususnya untuk frasa 'gabungan partai politik' dalam Pasal 40 ayat 1 dan 4 UU Pilkada," kata Patrialis.

Adapun uji materi dilayangkan Doni adalah Pasal 7 huruf O‎, Pasal 40 ayat 1 dan 4, Pasal 51 ayat 2, Pasal 52 ayat 2, Pasal 107 ayat 1, Pasal 109 ayat 1, Pasal 121 ayat 1, Pasal 122 ayat 1, dan Pasal 157 ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada). (Dry/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya