Yang Membuat Transplantasi Ginjal Sulit Dilakukan

Mencari donor darah masih sangat begitu sulit di beberapa negara, sehingga proses transplantasi ginjal berjalan lambat

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 07 Des 2014, 13:00 WIB
Acara donor darah massal di gedung FIF, Jakarta, Rabu (3/2). PT. FIF dan Asuransi Astra berkomitmen pada PMI untuk memberikan 5000 pendonor hingga November 2010. (Antara)

Liputan6.com, Jakarta Transplantasi ginjal adalah pengobatan terbaik bagi pasien gagal ginjal, karena dapat mengatasi hambatan imunologi dengan agen induksi yang efektif, ketersediaan emosional transplantasi terkait, dan transplantasi pre-emptive (dialisis atau cuci darah) memiliki manfaat bagi sejumlah pasien gagal ginjal.

Spesialis Ginjal dari Gleneagles Hospital, Singapura, Dr. Roger Tan, menjelaskan bahwa secara konvensional, transplantasi ginjal yang kerap dilakukan setelah seorang pasien memulai dialisis terbukti efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup cangkok, serta kualitas hidup pasien.

"Kami telah mendorong pasien gagal ginjal untuk melakukan transplantasi pre-emptive sehingga untuk menghindari komplikasi dan rasa sakit terkait dengan dialisis," kata dia ditulis Health-Liputan6.com pada Jumat (5/12/2014)

Di Singapura, jelas dia, pihaknya telah berhasil melakukan transplantasi berisiko tinggi tersebut, dan hasilnya sebanding dengan pusat transplantasi beberapa negara barat.

Namun, yang terjadi sekarang adalah pasien kesulitan untuk mendapatkan seorang pendonor. Sebab, sebagian besar negara hanya menerima transplantasi dari donor hidup yang berasal atau memiliki hubungan sangat dekat atau living-related transplant.

"Yang terjadi kembali adalah, saat ini tidak sedikit pasien mengalami kesulitan menemukan donor yang cocok dalam keluarga initnya, karena bentuk keluarga modern yang semakin kecil ukurannya, penuaan penduduk, meningkatnya insiden diabetes dan hipertensi pada populasi, dan ketidakcocokan darah," kata Roger Tan menambahkan.

Singapura adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang melegalkan transplantasi dari donor hidup, yang tidak memiliki keterkaitan keluarga, atau dikenal sebagai transplantasi donor dengan keterkaitan emosional.

Terlebih saat ini transplantasi dengan donor yang memiliki keterkaitan emosional selau dikaitkan secara negatif dengan banyaknya perdagangan organ, dengan melakukan langkah berani ini telah memungkinkan para penderita gagal ginjal saling membantu dengan menyumbangkan ginjal mereka yang berharga, sehingga dapat meringankan beban pasien dari komplikasi akibat gagal ginjal, ditambah dengan penderitaan saat dialisis.

"Untuk mengatasi permasalahan, dan juga melindungi para pendonor juga penerima dari kemungkinan tersebut, proses yang ketat telah ditetapkan," kata dia.

Baik pendonor dan penerima, harus diwawancarai terlebih dahulu,serta disaring oleh berbagai spesialis, koordinator, departemen hukum dan komite etik transplantasi untuk memastikan kebugaran pada saat keduanya melakukan proses operasi dan tidak adanya paksaan atau bujukan keuangan yang terlibat.

"Sampai saat ini, banyak transplantasi ginjal dari donor hidup yang terkait secara emosional telah dilakukan dengan sukses pada pasien lokal, maupun asing dari berbagai negara seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, Bangladesh, dan Sri Lanka," kata dia melanjutkan.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kekurangan organ donor, terutama dalam transplantasi ginjal, mendorong terjadinya kesenjangan antara jumlah daftar pasien penderita ginjal stadium akhir yang menunggu untuk mendapatkan donor kadaver, dengan jumlah donor ginjal kadaver yang tersedia. "Maka itu, Untuk mengatasi hal tersebut, dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah pendonor ginjal hidup (baik terkait atau tidak terkait) dan dengan mengatasi hambatan imunologi ABO incompability dan HLA-sensitisation," kata dia menambahkan.

Sebelumnya, hambatan tersebut telah membuat para calon pendonor ginjal potensial ketakutan karena adanya proses penolakan terhadap organ yang disebut hyper acute antibodi-mediated allograft rejection.

"Ketersediaan anti-A atau anti-B kolom immunoadsorption baru-baru ini dan penggunaan ant-CD20 monoklonal antibodi (rituximab) dalam rezim imunosupresif yang berbeda telah menghasilkan hasil yang sangat menggembirakan bagi proses transplantasi yang berisiko tinggi seperti itu," kata dia menekankan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya