Ironi, Negara Ini Punya Cadangan Terbesar Tapi Impor Minyak

Gara-gara perusahaan minyak dijadikan sapi perah untuk kas pemerintah serta tidak adanya perencanaan dan investasi dalam mengelola minyak.

oleh Agustina Melani diperbarui 04 Nov 2014, 11:13 WIB
Harga minyak menguat didorong aksi pelaku pasar setelah harga minyak melemah tajam pada pekan lalu.

Liputan6.com, Caracas - Ironi, satu kata yang disematkan untuk negara  yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia ini. Untuk pertama kali, Venezuela harus mengimpor minyak sejak 100 tahun memproduksi minyak.

Setelah 19 bulan kematian Chavez, negara tidak mampu memproduksi minyak komersial untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sepertinya impian presiden Hugo Chavez yang ingin kembali menguasai industri minyak setelah merebut usaha patungan yang dikendalikan oleh perusahaan ExxonMobil dan Conoco kandas.

Mengapa Venezuela harus melakukan impor minyak untuk pertama kali dalam kurun waktu 100 tahun?

Pemerintah Venezuela mengalami dilema ketika harga minyak Amerika Serikat turun US$ 3 per galon. Hal ini menjelaskan negara kekurangan bahan pokok seperti kertas toilet, makanan dan obat-obatan dalam satu tahun terakhir.

Venezuela memiliki lebih dari 256 miliar barel minyak mentah, namun ketika memproduksinya banyak mineral dan belerang. Oleh karena itu, produksi minyak di Venezuela harus diupgrade untuk meningkatkan kemurnian minyak.

Peningkatan kualitas ini yang menjadi kendala perusahaan minyak di Venezuela untuk memproduksi minyak. Lantaran peningkatan kualitas produksi minyak membutuhkan dana besar. Sedangkan perusahaan minyak negara Petroleos de Venezuela SA (PDVSA) pun tidak memiliki uang untuk membangun fasilitas peningkatan kualitas minyak atau dimurnikan.

Di sisi lain sejumlah mitra masih ragu untuk melakukan bisnis di negara tersebut karena risiko bisnis.

"Sebelum Chavez berkuasa PDVSA merupakan perusahaan minyak. Dengan Chavez menjadi perpanjangan tangan revolusi, dan digunakan untuk para pendukungnya dan Chavez dalam kekuasaan. Setelah impor minyak ini kegagalan yang luar biasa bagi PDVSA dan Venezuela," ujar Jose Toro Hardy, mantan direktur PDVSA, dan anggota oposisi di negara itu, seperti dikutip dari CNBC, Selasa (4/11/2014).

Perusahaan minyak negara ini telah menjadi sapi perah untuk kas pemerintah. PDVSA dipaksa mendanai sejumlah program sosial di negara tersebut yang dilanda korupsi. Selain itu, dana dari perusahaan minyak juga digunakan untuk membiayai kampanye politik untuk pengganti Chavez, Nicolas Maduro.

Dengan menjadi sapi perah untuk kas pemerintah membuat perusahaan harus memotong kembali investasi dalam bisnis minyak dan gas alam.
Pada tahun lalu, total pendapatan PDVSA sekitar US$ 116 miliar, dari pendapatan itu, perseroaan membayar lebih dari US$ 33 miliar untuk mendukung program sosial pemerintah serta dana investasi sekitar US$ 10 miliar untuk operasi.

Selain itu, perusahaan minyak negara ini juga berat mensubsidi minyak. Perusahaan harus membayar miliaran per tahun untuk energi kepada konsumen. Sedangkan biaya konsumen hanya sen per galon.

Di saat yang sama penurunan harga minyak dunia juga mempengaruhi penerimaan pendapatan negara. Hal itu lantaran penurunan harga minyak sekitar US$ 1 membuat pendapatan hilang sekitar US$ 700 juta.

Tak hanya itu, Venezuela juga harus menghadapi produksi minyak lebih rendah sekarang dari pada ketika Chavez menjabat pada 1999. Produksi minyak sekarang diperkirakan 2,7 juta barel per hari adalah 13 persen lebih rendah dari pada ketika Chavez menjabat pada 1999.

Selain itu, kilang minyak Venezuela juga telah mengalami kerusakan dan shutdown termasuk kebakaran dan ledakan di pabrik Amuay pada dua tahun lalu. Hal itu menimbulkan kekurangan bensin, oli motor dan pelumas.

Tak hanya itu saja Venezuela juga menurunkan ekspor minyak mentah dari 1,5 juta barel per hari menjadi 800 ribu barel per hari. Hal itu sebagai akibat dari kesepakatan Venezuela meminjam uang dari China, dan dibayar dengan minyak. (Ahm/)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya