RI Tak Bisa Lagi Andalkan Ekspor ke China

Indonesia seharusnya mulai fokus pada pasar ekspor AS, Jepang, dan Eropa.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Mar 2014, 15:50 WIB
(Foto: BUMN.go.id)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diimbau segera mencari pasar ekspor baru selain China. Mengandalan komoditas prmier dalam aktivitas ekspornya, Indonesia seharusnya lebih berkonsentrasi menggenjot pasar ekspor ke Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Eropa. 

"Prioritas tinggi harus ke AS karena mereka tidak punya komoditas primer. Jangan terlalu serius ke China, tapi ke AS, Jepang dan Eropa," saran Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Ryan Kirmanto usai Diskusi Bangkitnya Ekonomi Global dan Antisipasi Perekonomian Domestik di kantor Kementerian Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (25/3/2014).

Selama ini Indonesia diketahui banyak mengimpor komoditas hortikultura dan manufaktur dari China dengan nilai cukup besar. Selain itu, Indonesia dan China dianggap memiliki komoditas primer yang cukup mirip seperti batu bara, nikel, besi, metal, baja dan produk lainnya.

Meski mengimbau mulai mengalihkan fokus pada pasar baru, Ryan mengaku, Indonesia harus tetap menjaga hubungan bilateral dengan China. Dengan pertumbuhan ekonominya yang selalu di atas 7%, Indonesia dianggap bisa mendapatkan peluang besar bagi Negeri Tirai Bambu ini.

"Seperti pembangunan dua tower, ada peluang kita pasok barang-barang metal atau baja ke sana, walaupun produksi baja di RRT sangat bagus tapi mereka tetap harus impor," tutur dia.

Di sisi lain, Ryan menangkap adanya sentimen positif dari target pertumbuhan ekonomi Jepang. Mematok peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 2%, Indonesia diharapkan bisa memperoleh peluang peningkatan ekspor komoditas ke Jepang.

"Harapan yang sama juga datang dari Jepang karena mereka melihat Indonesia merupakan pasar atraktif," ucap dia.

Salah satu potensi bisnis Jepang yang bisa masuk ke Indonesia berasal dari sektor otomotif. Negeri Matahari Terbit ini akan mendulang nilai perdagangan yang luar biasa seiring peningkatan daya beli masyarakat Indonesia.

"Produksi dan penjualan kendaraan roda dua dan empatnya di Indonesia bisa melonjak meskipun target lifting minyak mengalami penurunan supaya bisa menjadi bahan bakar sekitar 860 ribu barel per hari. Padahal idelnya 1,2 juta barel per hari," tukas Ryan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya