Sukses

Mengenal Misi Solar Orbiter, Wahana Mata-Mata Matahari

Badan Antariksa Eropa (ESA) meluncurkan misi ambisius bernama Solar Orbiter pada 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Matahari merupakan sumber energi dan kehidupan bagi Planet Bumi. Namun, masih banyak misteri yang menyelimuti bintang ini. Salah satu yang paling menarik adalah sifat medan magnetnya yang kompleks dan dinamis.

Untuk mengungkap rahasia ini, para astronom merencanakan isi untuk menjelajahi matahari secara lebih dekat. Suhu yang sangat tinggi dan minimnya informasi mengenai lingkungan di sekitar matahari, membuat misi penjelajahan matahari cukup sulit.

Badan Antariksa Eropa (ESA) meluncurkan misi ambisius bernama Solar Orbiter pada 2020. Misi ini dirancang untuk mendekati matahari lebih dekat daripada wahana antariksa sebelumnya.

Misi Solar Orbiter merupakan kolaborasi antara ESA dan NASA, menggabungkan keahlian dari berbagai negara. Data yang dikumpulkan oleh pesawat ini akan dianalisis oleh ilmuwan dari seluruh dunia.

Mereka bekerja sama untuk memahami fenomena Matahari secara holistik. Selain itu, Solar Orbiter bekerja sama dengan misi NASA lainnya, seperti Parker Solar Probe.

Hal ini dilakukan untuk membandingkan data dan memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang aktivitas Matahari. Melalui Solar Orbiter memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari medan magnet matahari secara detail yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Melansir laman resmi ESA pada Kamis (16/05/2024), wahana antariksa ini dirancang khusus untuk mengungkap misteri lingkungan ekstrem di sekitar matahari. Solar Orbiter dilengkapi kamera mutakhir dan sensor terkini, ia bertugas mengambil gambar terdekat dari bintang di pusat tata surya kita.

Seperti pada International Space Station (ISS), di Solar Orbiter juga terdapat susunan panel surya yang panjangnya sekitar 18 meter. Total massa peluncurannya yaitu 1800 kilogram, sedangkan total massa muatan ilmiahnya mencapai 209 kilogram.

Solar Orbiter diluncurkan dengan bantuan roket Atlas V dari Cape Canaveral. Solar Orbiter memasuki fase penuhnya pada Maret 2021 dan sejak itu terus memberikan potret matahari yang menakjubkan.

Solar Orbiter dilengkapi dengan 10 instrumen, lengkap dengan orbit elips yang mengelilingi Matahari dengan titik terdekat (perihelion). Titik perihelion sekitar 40 juta kilometer dari matahari, yang lebih dekat dari orbit Merkurius.

Selama pendekatan jarak dekat tersebut, pesawat ruang angkasa tersebut terkena suhu lebih dari 1.290 derajat Fahrenheit atau 700 derajat Celsius. Insinyur dari Badan Antariksa Eropa harus mengembangkan banyak solusi teknis baru.

Hal ini membuat pesawat ruang angkasa cukup kokoh untuk bertahan dalam panas ekstrem tersebut. Solar Orbiter mengelilingi matahari dalam jalur elips, menyelesaikan satu putaran setiap lima hingga enam bulan.

Perihelion pertamanya dicapai pada Juni 2020, hal ini menjadi pemicu penemuan api unggun di Matahari. Misi Solar Orbiter dijadwalkan berlangsung setidaknya hingga 2027, tetapi mungkin akan diperpanjang hingga awal 2030-an.

Selama misinya, Solar Orbiter akan menaikkan orbitnya secara berkala melampaui bidang ekliptika tempat planet-planet di Bima Sakti. Hal ini dilakukan untuk melihat kutub matahari secara detail untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Kutub matahari memainkan peran penting dalam proses yang mendorong pembentukan medan magnet matahari.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penemuan Tak Terduga

Selama misi, Solar Orbiter mengamati pola kebiasaan di atmosfer luar matahari. Lapisan luar atau korona Matahari merupakan lanskap yang dinamis dengan beberapa tekstur menarik, mulai dari 'lumut' hingga 'hujan'. Melansir aman IFL Science pada Kamis (16/05/2024), video terbaru yang diluncurkan Solar Orbiter dan NASA menunjukkan penampakan jarak dekat korona Matahari yang sedang aktif.

Sebelumnya, erupsi dahsyat yang merilis banyak partikel ke sistem Tata Surya tertangkap dalam sebuah video. Pada September 2023, Solar orbiter juga mendeteksi erupsi yang lebih kecil, disertai lumut dan hujan pada korona.

Lingkaran korona dengan erupsi dan lumut yang bergejolak menciptakan efek lain, yakni hujan korona. Suhu lingkaran ini sangat tinggi, sekitar 1 juta derajat Celsius.

Beberapa plasma mendingin dan berkat gravitasi kembali turun dalam gumpalan gelap dengan kepadatan tinggi yang menyebabkan hujan. Suhunya masih panas, tetapi jauh lebih rendah, sekitar 10.000 derajat Celsius.

Solar Orbiter mengambil video korona matahari dari jarak dekat pada 27 September 2023. Beberapa hari setelahnya, pengamatan mencapai jarak terdekat dari matahari, yakni 43 juta km pada 7 Oktober 2023.

Jarak itu kurang dari satu per tiga jarak bumi ke matahari. Pada hari yang sama, pengamat Matahari milik NASA, berada di jarak 7,26 juta km dari matahari.

(Tifani)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini