Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran perempuan cantik, Irene Guerrero, untuk menekuni pekerjaan menjadi seorang DJ (disc jockey). Jangankan DJ, berkecimpung di dunia hiburan menjadi artis saja Irene tak pernah kepikiran.
Menurut pengakuannya, sejak kecil ia sangat mengidam-idamkan menjadi seorang pengusaha sukses, yang memiliki banyak usaha.
"Ini benar-benar tanpa disengaja. Beberapa teman yang kerja di klub bilang, kalau memang saya tidak mau kerja menjadi artis, kenapa tidak jadi DJ saja? Saya jawab, saya enggak mau. Karena saya suka di belakang layar. Tapi menurut mereka lagi, kalau saya ini sosok yang ngejual kalau berada di depan layar," kata Irene menceritakan awal mula dirinya menjadi DJ, saat bertandang ke Kantor Redaksi Liputan6.com, SCTV Tower, Senayan City, Jakarta, ditulis Kamis (21/11/2013)
Setelah teman-temannya meyakinkan bahwa dirinya mampu meraih kesuksesan dengan menjadi DJ, Irene pun mencoba untuk menekuni bidang tersebut.
"Ya sudah, setelah diyakini gitu, saya pun belajar DJ. Setelah belajar dan benar-benar siap, saya lalu diajak untuk tampil bermain di sebuah klub besar, yang ada di Kemang," kata Irene lagi.
Siapa nyana, permainan `anak baru` seperti Irene mampu membetot perhatian pengujung klub tersebut. Tidak hanya pengujung, sang pemilik klub yang kebetulan hadir malam itu terpukau dengan permainannya. Karena suka dengan penampilan Irene malam itu, sang pemilik klub pun tak ragu untuk mengontrak Irene menjadi DJ selama satu tahun.
"Itu tuh, pertama kali main di klub itu. Eh, si bapak dan istrinya (pemilik klub) ternyata nonton dan suka. Saya dikontrak selama satu tahun. Jadi ya, tepat di tanggal 26 Oktober 2009, saya resmi menjadi DJ," kata Irene dengan senyum yang mengembang.
Gadai Laptop demi Belajar DJ
Ketika memutuskan untuk belajar DJ, rasa bingung sempat menggelayut di benak perempuan seksi ini. Bagaimana tidak? Irene mau tak mau harus belajar DJ dan membeli peralatan DJ sendiri yang harganya tidak murah.
"Awal mau belajar DJ, belum punya alat dan tempat buat nge-DJ, dan belum tahu apa-apa juga soal DJ ini. Jelas bingung," kata Irene mengingat kenangan lama.
Bukan hanya itu yang membuat Irene bingung. Izin orangtua pun belum dikantonginya, sebab ia belum mengutarakan niatannya untuk menjadi DJ ke orangtuanya.
"Saya bilang sama Mami kalau ingin belajar DJ. Dia hanya menjawab, kamu yakin ini itu dan sebagainya. Saya bilang, saya yakin. Tapi tetap, mami tidak mengizinkannya," kata Irene menambahkan.
Menurut Irene, penolakan maminya saat itu dianggap sesuatu yang wajar. Sebab, orangtuanya tak mau anaknya terjebak kepada hal-hal negatif yang berkaitan erat dengan pekerjaan menjadi seorang DJ. "Iya, mami dulu khawatir, narkoba, pulangnya pagi, alkohol, dan sebagainya," kata Irene mengenang.
Berhubung tekat dan niat yang kuat, membuat Irene akhirnya memutuskan untuk menggadaikan laptop yang dimilikinya. Itu dilakukannya, sebagai modal awal untuk membeli peralatan nge-DJ, yang akan dipelajarinya sendiri di rumah.
"Bingung dong, dari sekian banyak yang saya punya cuma laptop yang bisa digadai. Sengaja saya gadai, tidak saya jual. Lumayan Rp 3 juta berhasil saya dapatkan," kata Irene sambil tertawa.
Setelah semua peralatan terbeli, Irene pun mulai mengutak-atik alatnya tersebut, sambil mempelajarinya. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari Irene mampu belajar selama 6 jam.
"Kalau di sekolah DJ, satu kali pertemuan itu dua jam. Saya di rumah, sehari enam jam. Setelah dua jam latihan, saya berhenti dan istirahat dulu. Siangnya lanjut lagi. Habis itu, malam belajar lagi," kata Irene.
Klub Mendadak Ramai
Di dunia klub, hari Selasa itu identik dengan hari yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya, pengunjung yang hadir pun dapat dihitung dengan jari.
Tapi, hal seperti tidak berlaku pada hari Selasa, 26 Oktober 2009. Sewaktu Irene tampil untuk pertama kali, mendadak klub itu ramai pengunjung. Bahkan, hari Selasa berikutnya, klub itu tidak pernah sepi pengunjung, berlanjut selama satu tahun.
Karena alasan itu jugalah, yang akhirnya membuat si pemilik klub tak perlu berpikir panjang untuk mengontrak Irene menjadi DJ dan bermain di klub itu selama satu tahun.
"Soalnya begini. Sistem bayarannya kan profit sharing. Kalau klub itu menghasilkan Rp 15 juta, saya dapat 10 persennya, berarti Rp 1,5 juta. Malam itu, padahal Selasa ya, profit sharingnya tembus di Rp. 2,7 juta untuk saya," kata Irene menjelaskan.
"Selasa klub mati, enggak ada yang mau clubbing, biasanya. Tapi malam itu ramai sekali," kata pemilik berat 48 kilogram ini menambahkan.
Sukses jadi DJ, Irene Ingin Jadi Pengusaha
Dari uang yang berhasil dikumpulkannya ketika menjadi seorang DJ, Irene pun kini dapat mewujudkan mimpi kecilnya menjadi seorang pengusaha.
"Setelah berhasil ngumpulin uang, berasa juga lumayann. Saya lalu berpikir, uang ini enaknya diapain? Saya kalau hanya buat senang-senang. Ya sudah, saya memutuskan untuk berbisnis," kata Irene.
Bila kebanyakan perempuan yang memiliki uang lebih membuka usaha di bidang kecantikan seperti salon, beda halnya dengan Irene. Ia justru memilih bisnis dengan membuka sekolah DJ.
"Teman ngajakin buka salon. Tapi saya menolak, karena menurut saya salon bukan sesuatu yang membuat saya menjadi all out. Maka itu, saya buka saja sekolah DJ," kata Irene lagi menambahkan.
Dengan dana yang sangat kecil, Irene pun berani untuk membuka sekolah DJ dan merekrut orang-orang yang kompeten di bidangnya. Alat yang digunakan untuk pertama kalinya juga sangatlah biasa, tidak mewah seperti yang ia gunakan sekarang.
(Adt/Mel)
Menurut pengakuannya, sejak kecil ia sangat mengidam-idamkan menjadi seorang pengusaha sukses, yang memiliki banyak usaha.
"Ini benar-benar tanpa disengaja. Beberapa teman yang kerja di klub bilang, kalau memang saya tidak mau kerja menjadi artis, kenapa tidak jadi DJ saja? Saya jawab, saya enggak mau. Karena saya suka di belakang layar. Tapi menurut mereka lagi, kalau saya ini sosok yang ngejual kalau berada di depan layar," kata Irene menceritakan awal mula dirinya menjadi DJ, saat bertandang ke Kantor Redaksi Liputan6.com, SCTV Tower, Senayan City, Jakarta, ditulis Kamis (21/11/2013)
Setelah teman-temannya meyakinkan bahwa dirinya mampu meraih kesuksesan dengan menjadi DJ, Irene pun mencoba untuk menekuni bidang tersebut.
"Ya sudah, setelah diyakini gitu, saya pun belajar DJ. Setelah belajar dan benar-benar siap, saya lalu diajak untuk tampil bermain di sebuah klub besar, yang ada di Kemang," kata Irene lagi.
Siapa nyana, permainan `anak baru` seperti Irene mampu membetot perhatian pengujung klub tersebut. Tidak hanya pengujung, sang pemilik klub yang kebetulan hadir malam itu terpukau dengan permainannya. Karena suka dengan penampilan Irene malam itu, sang pemilik klub pun tak ragu untuk mengontrak Irene menjadi DJ selama satu tahun.
"Itu tuh, pertama kali main di klub itu. Eh, si bapak dan istrinya (pemilik klub) ternyata nonton dan suka. Saya dikontrak selama satu tahun. Jadi ya, tepat di tanggal 26 Oktober 2009, saya resmi menjadi DJ," kata Irene dengan senyum yang mengembang.
Gadai Laptop demi Belajar DJ
Ketika memutuskan untuk belajar DJ, rasa bingung sempat menggelayut di benak perempuan seksi ini. Bagaimana tidak? Irene mau tak mau harus belajar DJ dan membeli peralatan DJ sendiri yang harganya tidak murah.
"Awal mau belajar DJ, belum punya alat dan tempat buat nge-DJ, dan belum tahu apa-apa juga soal DJ ini. Jelas bingung," kata Irene mengingat kenangan lama.
Bukan hanya itu yang membuat Irene bingung. Izin orangtua pun belum dikantonginya, sebab ia belum mengutarakan niatannya untuk menjadi DJ ke orangtuanya.
"Saya bilang sama Mami kalau ingin belajar DJ. Dia hanya menjawab, kamu yakin ini itu dan sebagainya. Saya bilang, saya yakin. Tapi tetap, mami tidak mengizinkannya," kata Irene menambahkan.
Menurut Irene, penolakan maminya saat itu dianggap sesuatu yang wajar. Sebab, orangtuanya tak mau anaknya terjebak kepada hal-hal negatif yang berkaitan erat dengan pekerjaan menjadi seorang DJ. "Iya, mami dulu khawatir, narkoba, pulangnya pagi, alkohol, dan sebagainya," kata Irene mengenang.
Berhubung tekat dan niat yang kuat, membuat Irene akhirnya memutuskan untuk menggadaikan laptop yang dimilikinya. Itu dilakukannya, sebagai modal awal untuk membeli peralatan nge-DJ, yang akan dipelajarinya sendiri di rumah.
"Bingung dong, dari sekian banyak yang saya punya cuma laptop yang bisa digadai. Sengaja saya gadai, tidak saya jual. Lumayan Rp 3 juta berhasil saya dapatkan," kata Irene sambil tertawa.
Setelah semua peralatan terbeli, Irene pun mulai mengutak-atik alatnya tersebut, sambil mempelajarinya. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari Irene mampu belajar selama 6 jam.
"Kalau di sekolah DJ, satu kali pertemuan itu dua jam. Saya di rumah, sehari enam jam. Setelah dua jam latihan, saya berhenti dan istirahat dulu. Siangnya lanjut lagi. Habis itu, malam belajar lagi," kata Irene.
Klub Mendadak Ramai
Di dunia klub, hari Selasa itu identik dengan hari yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya, pengunjung yang hadir pun dapat dihitung dengan jari.
Tapi, hal seperti tidak berlaku pada hari Selasa, 26 Oktober 2009. Sewaktu Irene tampil untuk pertama kali, mendadak klub itu ramai pengunjung. Bahkan, hari Selasa berikutnya, klub itu tidak pernah sepi pengunjung, berlanjut selama satu tahun.
Karena alasan itu jugalah, yang akhirnya membuat si pemilik klub tak perlu berpikir panjang untuk mengontrak Irene menjadi DJ dan bermain di klub itu selama satu tahun.
"Soalnya begini. Sistem bayarannya kan profit sharing. Kalau klub itu menghasilkan Rp 15 juta, saya dapat 10 persennya, berarti Rp 1,5 juta. Malam itu, padahal Selasa ya, profit sharingnya tembus di Rp. 2,7 juta untuk saya," kata Irene menjelaskan.
"Selasa klub mati, enggak ada yang mau clubbing, biasanya. Tapi malam itu ramai sekali," kata pemilik berat 48 kilogram ini menambahkan.
Sukses jadi DJ, Irene Ingin Jadi Pengusaha
Dari uang yang berhasil dikumpulkannya ketika menjadi seorang DJ, Irene pun kini dapat mewujudkan mimpi kecilnya menjadi seorang pengusaha.
"Setelah berhasil ngumpulin uang, berasa juga lumayann. Saya lalu berpikir, uang ini enaknya diapain? Saya kalau hanya buat senang-senang. Ya sudah, saya memutuskan untuk berbisnis," kata Irene.
Bila kebanyakan perempuan yang memiliki uang lebih membuka usaha di bidang kecantikan seperti salon, beda halnya dengan Irene. Ia justru memilih bisnis dengan membuka sekolah DJ.
"Teman ngajakin buka salon. Tapi saya menolak, karena menurut saya salon bukan sesuatu yang membuat saya menjadi all out. Maka itu, saya buka saja sekolah DJ," kata Irene lagi menambahkan.
Dengan dana yang sangat kecil, Irene pun berani untuk membuka sekolah DJ dan merekrut orang-orang yang kompeten di bidangnya. Alat yang digunakan untuk pertama kalinya juga sangatlah biasa, tidak mewah seperti yang ia gunakan sekarang.
(Adt/Mel)