Suatu hari pada Juni 1996, seorang remaja perempuan berkulit hitam melindungi seorang pria kulit putih yang tak dikenal dari amuk massa yang menduganya sebagai pendukung kelompok rasis Klu Klux Klan (KKK). Sebuah keberanian dan kebaikan luar biasa yang masih menginspirasi banyak orang hingga hari ini.
Begini ceritanya: Keshia Thomas, remaja itu, baru berusia 18 tahun saat Klu Klux Klan, organisasi supremasi kulit putih, menggelar unjuk rasa di kampung halamannya di Ann Arbor, Michigan.
Ann Arbor adalah area yang liberal, progresif, dan multikultural -- tak biasanya Klu Klux Klan memilih lokasi seperti itu. Benar saja, ratusan penduduk lokal sontak berkumpul, menunjukkan ketidaksenangannya. Mereka menggelar demo tandingan.
Atmosfer kala itu dipenuhi ketegangan, namun terkendali. Polisi menggunakan perlengkapan anti huru hara, melindungi sejumlah kecil anggota KKK, yang mengenakan jubah putih dan topi kerudung kerucut khas. Keshia berdiri di antara demonstran anti-KKK.
Lalu seorang perempuan yang memegang megafon berteriak, "Ada anggota KKK di tengah keramaian!"
Orang-orang lantas menengok ke arah seorang pria paruh baya yang mengenakan kaus bergambar bendera Konfederasi. Pria itu mencoba kabur, namun massa, termasuk Keshia mengejarnya. "Tangkap dia!" teriak orang-orang.
Belum jelas apakah pria itu anggota KKK, namun massa menganggap, baju dan tato 'SS' di tubuhnya adalah bukti tak terbantahkan. Bendera Konfederasi dalam Perang Saudara AS dipakai sebagai simbol kebencian dan rasisme KKK. Dan SS -- yang diambil dari Nazi Jerman -- adalah lambang supremasi kulit putih, atau lebih buruk lagi.
Orang-orang berteriak, "Bunuh Nazi itu!" Pria yang jadi sasaran ditarik dan terbanting ke jalanan. Massa
mengeroyoknya, menendang, memukulinya dengan tongkat.
Kerumunan manusia yang emosi kehilangan kemanusiaan dan akal sehatnya. "Sangat barbar," kata Keshia seperti dimuat BBC News Magazine, Selasa (29/10/2013).
"Saat orang-orang berada di kerumunan, mereka lebih cenderung melakukan apa yang tak bakal atau tak berani mereka lakukan sebagai individu. Seseorang harus muncul dan berkata, 'Ini tidak benar'," kata dia.
Dan pahlawan lalu muncul. Keshia yang masih sekolah di SMA melempar tubuhnya melindungi pria yang sama sekali tak ia kenal. Menyelamatkannya.
"Saat mereka membantingnya, aku merasa dua malaikat mengangkatku dan menjatuhkanku untuk melindunginya."
Mark Brunner, fotografer sekolah yang menjadi saksi peristiwa tersebut mengatakan, siapa yang ia selamatkan, menjadikan tindakan Keshia luar biasa.
"Ia mengorbankan dirinya, secara fisik, untuk melindungi seseorang -- yang menurutku -- akan melakukan kekerasan yang sama padanya," kata dia. "Sungguh mulia."
"Tak Ada Orang yang Layak Disakiti"
Dorongan kuat apa yang membuat Keshia bertindak berbeda dengan kebanyakan orang saat itu? Menjadi satu-satunya yang waras. Pertama, keyakinan agama. Namun pengalamannya menjadi korban kekerasan adalah faktor yang lebih besar.
"Aku tahu rasanya terluka," kata dia. "Saat kekerasan terjadi padaku berulang kali, aku berharap seseorang muncul menolongku," kata dia.
Apa kekerasan yang ia alami, Keshia tak mau membeberkannya. Itu rahasia hidupnya. Namun," Kekerasan adalah kekerasan, tak ada seorang pun yang layak disakiti."
Keshia tak pernah bertemu dengan pria yang ia selamatkan. Namun suatu hari, ia bersua dengan anggota keluarganya yang sengaja menemuinya di kedai kopi dan mengucapkan terima kasih. 'Untuk apa?" tanya Keshia. "Orang itu ayahku," jawab pemuda itu.
Keshia merasa, saat itu ia telah memutus lingkaran setan kekerasan. Menghentikan dendam. "Misalnya saja orang-orang sampai membunuhnya atau menyakiti pria itu. Apa yang akan dirasakan anaknya? Niscaya kekerasan terus berlanjut," kata dia.
Keshia yang kini berusia 30-an berharap aksinya di tahun 1996 bukan satu-satunya tindakan baik yang ia lakukan. Kini, perempuan tegar itu terus berusaha menghapus stereotip rasial setiap hari. Dengan hal kecil dan tindakan baik.
"Hal terbesar yang dapat Anda lakukan saat ini adalah menjadi baik kepada manusia lain. Bisa dengan kontak mata atau senyuman. Tak harus berupa tindakan monumental besar."
Inspirasi
Apa yang dilakukan Keshia membekas di benak Teri Gunderson -- yang membaca kisah perempuan pemberani itu di BBC.
"Suara di kepala saya mengatakan sesuatu seperti ini,"Kalau dia bisa melindungi seseorang (seperti itu), saya juga bisa menunjukkan kebaikan kepada orang lain," kata dia.
Namun, Teri tak yakin bakal bisa bertindak seberani Thomas ketika misalnya, dua anak adopsinya dari ras campuran mengalami kekerasan.
Leonard Pitts Jr, komentator dan pemenang penghargaan Pulitzer, juga memuji tindakan heroik Keshia.
Perempuan itu bisa saja membiarkan pria itu, atau membujuk dan menangis agar orang-orang menghentikan penyiksaan. "Namun, pilihan Keshia menegaskan apa yang telah hilang dari banyak orang: kesadaran sebagai manusia. Juga harapan." (Ein/Yus)
Begini ceritanya: Keshia Thomas, remaja itu, baru berusia 18 tahun saat Klu Klux Klan, organisasi supremasi kulit putih, menggelar unjuk rasa di kampung halamannya di Ann Arbor, Michigan.
Ann Arbor adalah area yang liberal, progresif, dan multikultural -- tak biasanya Klu Klux Klan memilih lokasi seperti itu. Benar saja, ratusan penduduk lokal sontak berkumpul, menunjukkan ketidaksenangannya. Mereka menggelar demo tandingan.
Atmosfer kala itu dipenuhi ketegangan, namun terkendali. Polisi menggunakan perlengkapan anti huru hara, melindungi sejumlah kecil anggota KKK, yang mengenakan jubah putih dan topi kerudung kerucut khas. Keshia berdiri di antara demonstran anti-KKK.
Lalu seorang perempuan yang memegang megafon berteriak, "Ada anggota KKK di tengah keramaian!"
Orang-orang lantas menengok ke arah seorang pria paruh baya yang mengenakan kaus bergambar bendera Konfederasi. Pria itu mencoba kabur, namun massa, termasuk Keshia mengejarnya. "Tangkap dia!" teriak orang-orang.
Belum jelas apakah pria itu anggota KKK, namun massa menganggap, baju dan tato 'SS' di tubuhnya adalah bukti tak terbantahkan. Bendera Konfederasi dalam Perang Saudara AS dipakai sebagai simbol kebencian dan rasisme KKK. Dan SS -- yang diambil dari Nazi Jerman -- adalah lambang supremasi kulit putih, atau lebih buruk lagi.
Orang-orang berteriak, "Bunuh Nazi itu!" Pria yang jadi sasaran ditarik dan terbanting ke jalanan. Massa
mengeroyoknya, menendang, memukulinya dengan tongkat.
Kerumunan manusia yang emosi kehilangan kemanusiaan dan akal sehatnya. "Sangat barbar," kata Keshia seperti dimuat BBC News Magazine, Selasa (29/10/2013).
"Saat orang-orang berada di kerumunan, mereka lebih cenderung melakukan apa yang tak bakal atau tak berani mereka lakukan sebagai individu. Seseorang harus muncul dan berkata, 'Ini tidak benar'," kata dia.
Dan pahlawan lalu muncul. Keshia yang masih sekolah di SMA melempar tubuhnya melindungi pria yang sama sekali tak ia kenal. Menyelamatkannya.
"Saat mereka membantingnya, aku merasa dua malaikat mengangkatku dan menjatuhkanku untuk melindunginya."
Mark Brunner, fotografer sekolah yang menjadi saksi peristiwa tersebut mengatakan, siapa yang ia selamatkan, menjadikan tindakan Keshia luar biasa.
"Ia mengorbankan dirinya, secara fisik, untuk melindungi seseorang -- yang menurutku -- akan melakukan kekerasan yang sama padanya," kata dia. "Sungguh mulia."
"Tak Ada Orang yang Layak Disakiti"
Dorongan kuat apa yang membuat Keshia bertindak berbeda dengan kebanyakan orang saat itu? Menjadi satu-satunya yang waras. Pertama, keyakinan agama. Namun pengalamannya menjadi korban kekerasan adalah faktor yang lebih besar.
"Aku tahu rasanya terluka," kata dia. "Saat kekerasan terjadi padaku berulang kali, aku berharap seseorang muncul menolongku," kata dia.
Apa kekerasan yang ia alami, Keshia tak mau membeberkannya. Itu rahasia hidupnya. Namun," Kekerasan adalah kekerasan, tak ada seorang pun yang layak disakiti."
Keshia tak pernah bertemu dengan pria yang ia selamatkan. Namun suatu hari, ia bersua dengan anggota keluarganya yang sengaja menemuinya di kedai kopi dan mengucapkan terima kasih. 'Untuk apa?" tanya Keshia. "Orang itu ayahku," jawab pemuda itu.
Keshia merasa, saat itu ia telah memutus lingkaran setan kekerasan. Menghentikan dendam. "Misalnya saja orang-orang sampai membunuhnya atau menyakiti pria itu. Apa yang akan dirasakan anaknya? Niscaya kekerasan terus berlanjut," kata dia.
Keshia yang kini berusia 30-an berharap aksinya di tahun 1996 bukan satu-satunya tindakan baik yang ia lakukan. Kini, perempuan tegar itu terus berusaha menghapus stereotip rasial setiap hari. Dengan hal kecil dan tindakan baik.
"Hal terbesar yang dapat Anda lakukan saat ini adalah menjadi baik kepada manusia lain. Bisa dengan kontak mata atau senyuman. Tak harus berupa tindakan monumental besar."
Inspirasi
Apa yang dilakukan Keshia membekas di benak Teri Gunderson -- yang membaca kisah perempuan pemberani itu di BBC.
"Suara di kepala saya mengatakan sesuatu seperti ini,"Kalau dia bisa melindungi seseorang (seperti itu), saya juga bisa menunjukkan kebaikan kepada orang lain," kata dia.
Namun, Teri tak yakin bakal bisa bertindak seberani Thomas ketika misalnya, dua anak adopsinya dari ras campuran mengalami kekerasan.
Leonard Pitts Jr, komentator dan pemenang penghargaan Pulitzer, juga memuji tindakan heroik Keshia.
Perempuan itu bisa saja membiarkan pria itu, atau membujuk dan menangis agar orang-orang menghentikan penyiksaan. "Namun, pilihan Keshia menegaskan apa yang telah hilang dari banyak orang: kesadaran sebagai manusia. Juga harapan." (Ein/Yus)