Lahir dari Konsensus Politik, Pengamat Sebut Hal Wajar Jika Presiden Memihak

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai seorang presiden dan menteri boleh berkampanye serta memihak di Pilpres 2024 menuai tanggapan dari pengamat politik dan CEO Point Indonesia, Karel Susetyo.

oleh Marifka Wahyu Hidayat diperbarui 26 Jan 2024, 09:32 WIB
Dok. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai seorang presiden dan menteri boleh berkampanye serta memihak di Pilpres 2024 menuai tanggapan dari pengamat politik dan CEO Point Indonesia, Karel Susetyo.

Menurutnya, kepala negara boleh memihak seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Misalnya, ketika Presiden Barack Obama membantu Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden AS 2016.

"Bisa, kalau dilihat prakteknya demokrasi negara (Indonesia) kiblatnya ke Amerika. Sedangkan yang tidak boleh itu kampanye menggunakan alat negara," ungkapnya, Kamis (25/01/2024).

Dikatakanya, jika merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Presiden memiliki hak politik dan boleh ikut berkampanye, namun harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Ia juga berpendapat, jika presiden memihak dalam hal politik itu sesuatu yang wajar. Sebab, presiden lahir dari konsesus politik.

"Wajar, karena presiden bukan orang yang netral dari politik. Ia lahir dari konsesus politik," tambahnya.

Karel juga mencontohkan dukungan politik pernah terjadi di presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut membantu memenangkan partainya di tingkat daerah.

Hal tersebut dilihatnya dari banyaknya foto dan spanduk dukungan ketika itu, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupatan dan kota.

"Berpihak kan presiden, bukan ASN dan TNI Polri. Bedakan presiden sebagai tokoh politik," pungkas Karel.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya