Lapan Prediksi Badai Es Bakal Sering Terjadi di Bandung

Tanah yang makin gundul menjadi pemicu pembentukan badai ekstrem, termasuk badai es, di Bandung.

oleh Arie Nugraha diperbarui 10 Mei 2017, 12:31 WIB
Hujan es kembali melanda Bandung (Dokumen Basarnas Jabar)

Liputan6.com, Bandung - Lembaga Antariksa dan Penerbangan Negara (Lapan) menyatakan tidak menutup kemungkinan Kota Bandung, Jawa Barat, mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas badai ekstrem.

Badai ekstrem di Bandung itu dipicu semakin berkurangnya tutupan lahan yang menyebabkan ketidakseimbangan radiasi termal. Akibatnya, mendorong ketidakstabilan di atmosfer yang memicu awan terbentuk ke atas semakin tinggi dengan gaya updraft kuat.

Selain itu, topografi wilayah Bandung juga dikelilingi oleh pegunungan sehingga sirkulasi lokal angin lembah-gunung sangat dominan mengontrol curah hujan bahkan badai.

Menurut peneliti Sains Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan, Erma Yulihastin, tutupan lahan yang semakin berkurang di wilayah pegunungan sekitar Bandung juga dapat mengakibatkan radiasi termal di atas gunung meningkat. Akibatnya, angin lembah yang terbentuk menjadi lebih kuat pada sore hari.

"Jika faktor lokal ini berinteraksi dengan faktor gangguan cuaca dalam skala yang lebih luas, maka hal ini juga dapat mempercepat pembentukan dan pematangan awan-awan badai," kata Erma dalam keterangan tertulis kepada Liputan6.com, di Bandung, Rabu (10/5/2017).

Erma Yulihastin mengatakan, cuaca ekstrem berupa hujan badai es yang melanda kota Bandung pada 19 April dan 3 Mei 2017, dikonfirmasi akibat terjadinya peningkatan temperatur global yang mengintensifkan peningkatan frekuensi dan intensitas hujan atau cuaca ekstrem. Dua kejadian badai es itu prosesnya hampir serupa.

Sebelumnya, kata Erma, otoritasnya telah memprediksi badai es akan terjadi lewat tengah hari pada saat kejadian. Hal itu berdasarkan terlihatnya konvergensi kuat terjadi di sepanjang Jawa Barat bagian tengah antara angin tenggara, berkecepatan tujuh meter per detik yang bersifat lembab dan angin dari utara berkecepatan enam meter per detik yang juga lembab.

Konvergensi angin lembab tersebut bertemu dengan udara di atas Bandung dan sekitarnya yang lebih kering sehingga terbentuklah front, atau pertemuan dua jenis massa udara yang berbeda.

"Kondisi ini memicu konveksi lokal dengan updraft (gerakan vertikal udara) kuat, yang didukung oleh faktor pengangkatan oleh pegunungan, atau disebut elevated terrain, yand ada di sekeliling Bandung. Gabungan beberapa faktor tersebut telah membangkitkan badai guruh yang merusak (severe thunderstorm) karena menghasilkan hujan deras, petir, es, dan angin kencang yang diakibatkan oleh pembentukan front (gust front) beberapa hari lalu di Kota Bandung," tutur Erma.

Erma memaparkan badai yang berlangsung singkat yang berdurasi 20 - 30 menit pada 3 Mei 2017 di ibu kota Provinsi Jawa Barat itu dapat diidentifikasi sebagai badai dalam satu sel tertutup. Badai semacam itu, kata dia, dapat berkembang menjadi badai multi-sel jika bergabung dengan sel badai lainnya, sehingga dapat bertahan lebih lama dan menjangkau area yang lebih luas hingga ratusan kilometer.

Sebenarnya ujar Erma, fenomena badai guruh merupakan fenomena yang biasa terjadi di atmosfer seiring dengan pembentukan awan cumulus yang berubah menjadi awan cumulus menara atau cumulonimbus. Namun, dampak merusaknya bisa diperparah oleh perubahan iklim global yang terjadi saat ini.

Banyak penelitian yang menunjukkan, bahwa cuaca ekstrem seperti gelombang panas, badai guruh, siklon tropis, hujan torensial mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas karena perubahan iklim tersebut.

"Para ilmuwan mempercayai bahwa perubahan iklim global berdampak secara regional hingga lokal, meskipun penelitian mengenai hal ini masih sangat sulit dikonfirmasi karena keterbatasan data pengamatan di permukaan," ungkapnya.

Kecenderungan badai yang meningkat karena perubahan iklim, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan menyebutkan diperlukan pemantauan kondisi cuaca yang kontinyu melalui radar cuaca. Untuk saat ini, hanya radar yang dapat menggambarkan fase hidup sel badai dari pertumbuhan hingga peluruhannya.

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan sendiri telah mengembangkan Santanu yaitu Sistem Pemantauan Hujan berbasis radar hujan yang dimodifikasi dan dikembangkan dari radar kapal sehingga berbiaya rendah.

Radar itu dapat memberikan data hujan secara kontinyu setiap 2 menit. Selain itu, Lapan juga memiliki mobile radar cuaca yang dapat berpindah-pindah tempat karena dipasang di atas bus. Diharapkan keberadaan radar-radar tersebut dapat mendukung sistem peringatan dini cuaca ekstrem.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya