Aksi Robin Hood dari Betawi di Zaman Kolonial

Para Robin Hood dari Betawi itu muncul akibat kehidupan masyarakat tergencet kewajiban bayar pajak kepada pemerintah kolonial.

oleh Muhammad Ali diperbarui 04 Mei 2017, 07:08 WIB
Kampung Betawi zaman dulu (dok. KITLV)

Liputan6.com, Jakarta - Masa penjajahan, kehidupan antara orang Belanda dengan penduduk Batavia atau Jakarta sangat kontras. Para tuan besar hidup mewah bergelimpangan harta sementara orang Betawi menjalani kesehariannya penuh nestapa.

Kala itu, orang Betawi hidup sebagai penggarap tanah warga Belanda. Kehidupan mereka tergencet setelah adanya keharusan membayar pajak. Sedangkan, sebagian besar hasil panennya diserahkan kepada pemilik tanah. Jika tidak mematuhi aturan pajak itu, mereka harus siap menerima hukuman.

Keadaan kian mencekam ketika para tuan tanah memelihara tukang pukul dan centeng sebagai penagih pajak. "Warga Betawi pun kian terjepit," tulis Alwi Shahab dalam bukunya, Kisah Betawi Tempo Doeloe yang dikutip Liputan6.com, Jakarta, Rabu, 3 Mei 2017.

Atas keadaan ini, muncul tokoh-tokoh dari Betawi yang digambarkan sebagai jagoan atau jawara yang menentang Belanda. Mereka beraksi dengan menggasak harta para kompeni untuk selanjutnya dibagikan kepada masyarakat yang tertindas.

Kisah itu mirip dengan aksi Robin Hood yang melegenda sebagai pencuri harta orang kaya yang hasilnya diberikan kepada kaum miskin. Meski tak ada catatan sejarah yang menyatakan sosok Robin Hood benar hidup di dunia nyata, namanya telah melekat sebagai pahlawan dalam cerita rakyat Inggris.

Cerita Robin Hood itu ada dalam kisah Si Pitung. Walaupun si jago silat ini suka merampok, bagi warga Betawi ia bukan penjahat biasa. Karena dia merampok para tuan tanah di Betawi dan umumnya beroperasi di Meester Cornelis (Jatinegara).

Menurut Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, saat itu rakyat memperoleh kepuasan spiritual melihat Pitung sukses membuat panik kolonial. Pitung akhirnya divonis mati oleh pengadilan kolonial pada 1896.

Setelah sang jagoan tiada, muncul Robin Hood lainnya, yaitu Sabeni dari Tanah Abang, H. Darip dari Klender, Mujitaba dari Jati Petamburan, H. Muhd Item dari Rawabelong.

Kemudian ada Haji Uung dari Kemayoran yang merupakan kakek dari almarhum Benyamin Sueb.

"Pada cerita seperti itu mengandung aspirasi bahwa rakyat Betawi menentang kekuasaan Belanda. Kalau di Jawa, rakyatnya mengharapkan kedatangan ratu adil, warga Betawi berharap seorang jagoan," terang Alwi.

Sikap Jagoan Betawi

Menurut, seorang tokoh Betawi abad 19, H. Irwan Sjafri'ie, jago Betawi ini semacam jawara kampung yang menjadi benteng terhadap gangguan keamanan yang datang dari orang luar. Mereka umumnya para ahli silat yang hampir ada di setiap kampung.

Mereka tidak pernah 'menjual', menantang, tapi bersedia 'membeli' jika ada yang 'menjual'. Dari sini, muncul ungkapan 'Lu jual, Gue beli'. Artinya jagoan Betawi tak akan lari dari para penantang duel.

Begitu tawaduknya jagoan Betawi itu, Umar Alhabsyi yang menjadi asisten almarhum Mahruf, jagoan Tanah Abang, menyebutkan tentang sifat gurunya itu.

"Kalau caci maki masih bisa ditahan. Ibarat anjing menggonggong tapi tidak menggigit, buat ape kita layani. Tapi kalau tangan sudah jalan, tidak pake entar dulu. Langsung digebrak."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya