Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) tetap ingin agar mendapat tambahan subsidi listrik untuk tahun anggaran 2016 meskipun Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memutuskan untuk tidak menambah pagu anggaran subsidi listrik.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta penundaan pencabutan subsidi listrik bagi pelanggan rumah tangga 900 Volt Amper (VA). Penundaan tersebut karena data mengenai jumlah warga miskin masih simpang siur.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengajukan tambahan subsidi listrik senilai Rp 18,30 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016. Semula, subsidi listrik yang diajukan sebesar Rp 38,38 triliun, dengan tambahan tersebut maka subsidi listrik menjadi Rp 56,68 triliun.
Namun ternyata, pengajuan tambahan subsidi listrik tersebut ditolak oleh Banggar karena selama ini subsidi listrik banyak yang salah sasaran. Sebagian subsidi listrik tersebut ternyata dinikmati oleh orang mampu.
Sofyan melanjutkan, dengan ditolaknya tambahan subsidi listrik oleh Banggar tetapi pemerintah tetap ingin menunda pencabutan subsidi listrik tersebut maka PLN harus menanggung akibatnya. PLN harus menambahi subsidi listrik tersebut sendiri di tahun ini.
Oleh karena itu, PLN tetap meminta agar dana tambahan subsidi listrik tersebut tetap ada. Namun tentu aja tidak di tahun ini melainkan untuk tahun depan (carry over). "Dampaknya pasti ditambah, tapi tahun depan dan bukan tahun ini," kataSofyan, diJakarta, Jumat (17/6/2016).
Baca Juga
Advertisement
Ia melanjutkan, jika DPR tetap tidak meloloskan rencana kenaikan subsidi listrik tersebut masih ada jalan lain yang bisa dilakukan yaitu dengan menaikkan tarif listrik. Namun semua rencana tersebut masih menunggu sikap dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Ya mudah-mudahan ditambah. tapi kalau tidak ditambah bisa juga dengan menaikkan tarif. Itu semua tergantung Menteri ESDM," ungkap Sofyan.
Sofyan yakin pemerintah memahami subsidi listrik memang harus tepat sasaran atau diberikan kepada masyarakat yang benar layak dengan cara mencabut subsidi untuk golongan pelanggan 900 VA yang mampu. Dengan pencabutan tersebut, listrik golongan tersebut akan disesuaikan secara keekonomian.
"kalau tidak diberikan yang bisa dinaikkan, tapi saya yakin pemerintah memahami karena memang niat kami itu memberikan subsidi yang benar-benar layak dan benar-benar berhak. Dari 22 juta pelanggan 900 VA, yang bisa tidak layak untuk mendapat subsidi 18 juta pelanggan sedangkan 4juta pelanggan layak," tutur Sofyan.
Sebelumnya pada 16 Juni 2016, Banggar DPR RI menolak pengajuan tambahan anggaran subsidi listrik senilai Rp 18,30 triliun dari Rp 38,38 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) induk 2016 menjadi Rp 56,68 triliun di revisi APBN 2016.
Dengan keputusan tersebut, subsidi listrik pelanggan rumah tangga 900 VA yang dikategorikan sebagai golongan mampu tetap dicabut tahun ini.
Pemimpin Banggar DPR RI, Said Abdullah, mengungkapkan pemerintah mengajukan kembali anggaran subsidi listrik, termasuk kekurangan bayar subsidi tahun-tahun sebelumnya dengan total Rp 56,68 triliun di RAPBN-P 2016. Hal itu dilakukan karena pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900 VA gagal direalisasikan tahun ini.
Penundaan kebijakan tersebut atas arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingat data dan jumlah masyarakat miskin masih simpang siur.
"Namun Banggar DPR tidak sependapat. Seharusnya subsidi listrik dinikmati masyarakat yang berhak menerima, bukan yang punya kos-kosan banyak, tapi pasang meteran 450 VA supaya dapat subsidi atau orang yang pakai listrik 900 VA di dapur dan di depan rumah," kata Said.
Saat rapat antara Komisi VII DPR dan pemerintah sebenarnya menyepakati penundaan mencabut subsidi listrik bagi pelanggan 900 VA sehingga membutuhkan tambahan anggaran untuk menutup kebijakan tersebut.
"Kami tahu Komisi VII sudah disetujui pelanggan 900 VA tetap disubsidi, tapi kenapa pemerintah bersedia hati untuk menjalankan keputusan itu. Pakai saja data tunggal dari BPS, supaya pasti. Kami ingin mengurangi perkiraan defisit anggaran 2,48 persen dari PDB, karena itu besar. Supaya APBN-P kita kredibel," ujar Said.