Liputan6.com, Batam: Belasan perusahaan berbasis minyak (oil base) di Batam, Kepulauan Riau, terancam tutup dan hengkang ke Singapura akibat pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) ganda dalam pelaksanaan Kawasan Perdagangan Bebas (FTZ). "Perusahaan oil base terancam karena double tax dan sudah banyak yang mengeluh," kata Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam, Oka Simatupang kepada ANTARA di Batam, Kamis (16/7).
Seperti yang terjadi di Kabil Industrial Estate (KIE), setidaknya terdapat lima hingga enam perusahaan oil base yang saat ini terancam hengkang ke Singapura. Ini lantaran minyak dan perlengkapan industrinya tetap harus mengikuti peraturan ekspor impor FTZ di Batam yang mengenakan pajak kepada setiap barang yang ke luar dari kota industri.
"Barang-barang oil base didatangkan dari kota lain di Indonesia. Saat dibawa keluar dari Tanjungpriok menuju Batam, barang itu kena pajak," ucap Simatupang.
Lalu saat tiba di Batam, imbuh Simatupang, barang itu dikirim ke laut dan dikenakan pajak lagi. Sementara ketika di tengah laut perlu perbaikan dan hasilnya dikirim lagi ke Batam. Usai diperbaiki dikirim lagi ke laut dan kembali dikenakan pajak. "Untuk satu barang, dikenakan pajak berkali-kali," ujarnya.
Pengenaan pajak pun tidak sedikit, setidaknya 10 persen. "Untuk barang oil base, itu bukan angka sedikit," kata Simatupang yang juga General Manager KIE. Sedangkan di Singapura hanya dikenakan sekali pajak. Sehingga para pengusaha oil base tergiur memindahkan usahanya.
Meskipun jumlah perusahaan oil base di Batam tidak sebanyak perusahaan manufaktur, nilai investasi oil base jauh lebih besar ketimbang manufaktur. Selain itu, perusahaan oil base juga menyerap ratusan tenaga kerja sehingga jika tutup pengangguran kembali mengancam.
Agar terhindar dari ancaman hengkang perusahaan oil base, Simatupang menyarankan pemerintah memberlakukan barang oil base seperti yang tertuang dalam Undang-undang PPN, setiap barang hanya terkena pajak sekali. "Ini bukan undang-undangnya yang salah, tapi sistem FTZ," imbuhnya.(ANS)
Seperti yang terjadi di Kabil Industrial Estate (KIE), setidaknya terdapat lima hingga enam perusahaan oil base yang saat ini terancam hengkang ke Singapura. Ini lantaran minyak dan perlengkapan industrinya tetap harus mengikuti peraturan ekspor impor FTZ di Batam yang mengenakan pajak kepada setiap barang yang ke luar dari kota industri.
"Barang-barang oil base didatangkan dari kota lain di Indonesia. Saat dibawa keluar dari Tanjungpriok menuju Batam, barang itu kena pajak," ucap Simatupang.
Lalu saat tiba di Batam, imbuh Simatupang, barang itu dikirim ke laut dan dikenakan pajak lagi. Sementara ketika di tengah laut perlu perbaikan dan hasilnya dikirim lagi ke Batam. Usai diperbaiki dikirim lagi ke laut dan kembali dikenakan pajak. "Untuk satu barang, dikenakan pajak berkali-kali," ujarnya.
Pengenaan pajak pun tidak sedikit, setidaknya 10 persen. "Untuk barang oil base, itu bukan angka sedikit," kata Simatupang yang juga General Manager KIE. Sedangkan di Singapura hanya dikenakan sekali pajak. Sehingga para pengusaha oil base tergiur memindahkan usahanya.
Meskipun jumlah perusahaan oil base di Batam tidak sebanyak perusahaan manufaktur, nilai investasi oil base jauh lebih besar ketimbang manufaktur. Selain itu, perusahaan oil base juga menyerap ratusan tenaga kerja sehingga jika tutup pengangguran kembali mengancam.
Agar terhindar dari ancaman hengkang perusahaan oil base, Simatupang menyarankan pemerintah memberlakukan barang oil base seperti yang tertuang dalam Undang-undang PPN, setiap barang hanya terkena pajak sekali. "Ini bukan undang-undangnya yang salah, tapi sistem FTZ," imbuhnya.(ANS)