RESENSI The Fault in Our Stars, Tontonan Sedih nan Indah

Jika ingin membuktikan sejauh mana Anda bisa menahan tangis saat menonton film, The Fault in Our Stars adalah pilihan tepat.

oleh Ade Irwansyah diperbarui 27 Jun 2014, 17:20 WIB
Jika ingin membuktikan sejauh mana Anda bisa menahan tangis saat menonton film, The Fault in Our Stars adalah pilihan tepat.

Liputan6.com, Jakarta Kapan terakhir Anda menonton film yang membuat air mata menggenang?

Jika ingin membuktikan diri sejauh mana Anda bisa menahan tangis saat menonton film, The Fault in Our Stars adalah pilihan tepat untuk menguji ketangguhan Anda. Kerap dikatakan, jangan lupa membawa tisu saat menonton film ini. Dan himbauan itu benar adanya. Entah Anda wanita atau pria, sulit rasanya untuk tidak menangis dan larut dalam kesedihan ketika menonton film yang diangkat dari novel laris karya John Green ini.

Bagusnya `The Fault in Our Stars` bukanlah kesedihan yang dijual. Kisahnya bukan hendak menguras air mata Anda berkali-kali, dalam arti sineasnya membangun cerita dengan menempatkan momen-momen yang bakal bikin sedih di sejumlah tempat sepanjang film. Bukan. Film ini tidak pakai trik murahan begitu.

Bak sebuah bangunan, filmnya disusun bata demi bata untuk di puncaknya kita tak sanggup menahan tangis lantaran kita tak rela melihat akhir kisah cinta tokoh utamanya.

Pertama, kita dikenalkan pada karakter Hazel Grace Lancaster yang dimainkan Shailene Woodley. Umurnya 16 tahun dan menderita kanker tiroid. Ia betahan hidup berkat obat Phalanxifor yang rutin diminumnya sambil pernapasannya dibantu tanki oksigen mini yang dibawanya ke mana-mana di dalam tas. Kita juga bertemu karakter utama satu lagi, Augustus Waters yang dimainkan Ansel Esgort. Augustus pernah menderita kanker osteosarkoma dan harus diamputasi salah satu kakinya. Augustus pakai kaki palsu, tapi kankernya hilang.

Menarik bagaimana dua tokoh utama kita ini digambarkan di film. Hazel Grace adalah tipikal gadis cantik yang menderita sakit. Mudah bagi kita jatuh hati padanya, merasa kasihan dan mungkin sudah menebak di awal film, tokohnya bakal dimatikan di ujung agar kita menangis sedih.

Foto dok. Liputan6.com

Sedang Augustus juga tipikal pangeran tampan yang bakal memikat gadis mana saja yang menatap mata ataupun senyumannya. Augustus digambarkan sebagai pria cool yang bersikap seolah paling tampan. Karakter macam begini tipikal, sebetulnya. Tokoh Rahul yang dimainkan Shahrukh Khan di Kuchkuch Hota Hai pun punya sifat seperti ini.

Augustus yang sok cool yang ingin mencintai Hazel, sedang Hazel sendiri bersikap defensif. Hazel tak ingin larut jatuh cinta karena ia merasa dirinya adalah granat yang setiap saat bisa meledak, melukai orang-orang yang dicintai ataupun mencintainya.

***

Yang serba tipikal di film ini toh tetap membuat kita jatuh hati pada karakternya. Hal ini tak lepas dari chemistry yang sangat kuat antara Woodley dengan Esgort. Mereka adalah pasangan di dalam layar yang paling meyakinkan sebagai kekasih dalam film Hollywood sejak... Entah sejak kapan.

Sejak awal kita sudah tahu mereka akan menjadi sepasang kekasih. Tapi bukan itu yang penting. Melainkan, sekali lagi, bagaimana filmnya dibangun bata demi bata agar kita jatuh hati pada pasangan ini.

Penonton berhasil dibuat sutradara Josh Boone jatuh hati pada Hazel dan Augustus. Dan dengan demikian, film ini telah berhasil menarik simpati penontonnya. Yang menonton ingin cinta mereka terwujud bahagia di akhir film.

Namun, seakan ada hukum tak tertulis berlaku di sini: kisah cinta yang akan selalu dikenang abadi justru bukan cerita cinta yang berakhir bahagia seperti kisah dongeng yang ditutup "Dan mereka hidup bahagia selamanya." Bukan. Romeo & Juliet berakhir dengan kematian, bahkan begitu pula Titanic-nya Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet.

Foto dok. Liputan6.com

`The Fault in Our Stars` pun tampak hendak menapaki jalan ini. Namun adalah sebuah perbuatan kriminal rasanya bila ulasan ini menyebut siapa yang mati di film ini.

Yang patut disampaikan sebagai undangan bagi Anda menonton film ini adalah, sungguh menarik bagaimana kisahnya tidak jatuh menjadi cerita tentang orang-orang sakit yang patut mendapat belas kasihan. Kisah cinta Hazel dan Augustus sejatinya adalah sebuah petualangan mencari kesembuhan dalam bentuk lain. Mereka bertualang hingga ke Belanda untuk mencari sebuah jawaban atas sederet pertanyaan. Mereka bukan orang-orang yang minta dikasihani.

***

Saat menonton, saya dua kali menitikkan air mata. Dua-duanya bukan di akhir film. Saat film berakhir, saya justru pulang dengan bahagia meski tahu pasangan yang saya harap bersatu tak kesampaian. Saya bahagia karena filmnya berakhir manis dengan caranya sendiri: jawaban yang dicari akhirnya didapat. Sambil melihat tokohnya tersenyum memegang secarik kertas peninggalan sang kekasih, kita pun ikut tersenyum. Ah... sebuah tontonan indah yang sulit dilupakan.*** (Ade)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya