Sukses

Pakai Teknologi Pengenalan Wajah, Polisi Salah Tangkap Penjahat

Pakai teknologi pengenalan wajah, polisi malah salah menangkap seorang pria yang mereka pikir sebagai tersangka dalam kasus pencurian.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara, salah satunya China, menerapkan teknologi pengenalan wajah untuk membantu aparat kepolisian memburu seorang tersangka di tengah kerumunan. Namun sayangnya, pengenalan wajah tidak selalu bisa diandalkan.

Sejumlah laporan dan penelitian bahkan menunjukkan teknologi pengenalan wajah jauh dari akurat dan cenderung bias. Salah satunya seperti kasus terbaru di Detroit, Michigan, Amerika Serikat. Demikian seperti dikutip dari laman Ubergizmo, Minggu (12/7/2020).

Menurut informasi dari Detroit Free Press, polisi salah menangkap seorang pria yang mereka pikir sebagai tersangka dalam kasus pencurian, di mana tersangka tertangkap kamera sedang membobol mobil dan mencuri ponsel yang ada di dalamnya.

Ketika teknologi pengenalan wajah digunakan untuk menganalisis video, polisi tertuju ke seorang bernama Michael Oliver yang juga diidentifikasi dalam jajaran foto yang diperoleh korban.

Namun, Oliver protes kalau itu bukan dirinya. Ia pun langsung membuktikannya, seperti bagaimana Oliver memiliki tato di lengannya, sementara orang dalam video itu tidak. Kasus ini kemudian diberhentikan oleh seorang hakim.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Perlu Pengembangan Lebih Lanjut

Meskipun ada potensi di balik pengenalan wajah, namun banyak kasus menunjukkan kalau teknologi ini masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Ada beberapa kota di AS yang melarang penggunaan teknologi pengenalan wajah, seperti di Boston dan juga San Francisco.

3 dari 4 halaman

Ada Risiko di Balik Teknologi Pengenalan Wajah di Aplikasi FaceApp

Sebelumnya diberitakan aplikasi FaceApp kembali menjadi tren dan telah menghasilkan tagar "#faceappchallenge" yang banyak dibagikan antara lain di Facebook dan Instagram.

Namun di balik tren itu, ada kekhawatiran mengenai teknologi pengenalan wajah (facial recognition) di aplikasi itu dan risiko berbagi informasi yang dikaitkan dengan privasi pengguna.

Yeo Siang Tiong, General Manager untuk Asia Tenggara di Kaspersky menyebut masa isolasi di rumah selama pandemi Covid-19 telah menjadi pemicu orang untuk menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial dibandingkan sebelum pandemi.

"Untuk selalu mendapatkan berita terbaru dan terhubung dengan teman dan keluarga adalah beberapa alasan utama. Namun, orang-orang juga telah beralih ke media sosial untuk mengatasi stres dan kecemasan. Berbagi foto dan video menggunakan aplikasi dengan tambahan filter berupa wajah lebih tua dan menukar gender sekarang kembali menjadi populer," kata Yeo lewat keterangan tertulis, Senin (22/6/2020).

Terkait hal ini, Yeo menyatakan memang tidak ada salahnya menggunakan aplikasi tersebut, tetapi dia dan timnya di Kaspersky juga "mendesak pengguna media sosial untuk selalu memperhatikan dengan seksama seberapa besar informasi pribadi mereka akan digunakan dan dibagikan oleh aplikasi tersebut demi menghindari berbagai risiko."

Fabio Assolini, analis senior di Kaspersky, memastikan aplikasi itu tidak memuat elemen berbahaya, tetapi pengenalan wajah adalah teknologi yang digunakan terutama untuk autentikasi kata sandi, sehingga pengguna harus sangat berhati-hati dalam berbagi gambar dengan pihak ketiga.

"Kami harus memperlakukan bentuk-bentuk autentikasi baru ini layaknya kata sandi karena setiap sistem pengenalan wajah yang tersedia secara luas pada akhirnya dapat digunakan baik untuk hal bagus dan buruk," ujar Fabio memperingatkan.

4 dari 4 halaman

Data di server pihak ketiga

Assolini mengatakan, perusahaan yang memiliki aplikasi semacam itu berpotensi memfasilitasi atau menjual gambar-gambar tersebut kepada pihak yang menggunakan kecerdasan buatan untuk membuat modifikasi pengenalan wajah.

"Selain itu, harus diperhitungkan bahwa data ini disimpan di server pihak ketiga, dan juga berpotensi untuk dicuri oleh para pelaku kejahatan siber dan digunakan sebagai identitas samaran" tutur Fabio menambahkan.

Dia dan timnya di Kaspersky, oleh sebab itu, menyarankan pengguna untuk mengetahui dan memahami tingkat keamanan aplikasi dan mengunduhnya hanya dari toko resmi sebelum pengguna mengikuti tren tersebut.

Selain itu, Assolini juga menyoroti pentingnya membaca persyaratan privasi untuk memahami hak dan jenis akses yang diminta oleh aplikasi tersebut.

(Isk/Why)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini