Sukses

Peneliti Latih Kecerdasan Buatan untuk Deteksi Alzheimer

Peneliti menerapkan algoritma multilayer clustering guna menganalisis sejumlah besar data, yang diambil dari penelitian Alzheimer’s Disease Neuroimaging Initiative.

Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) kini memang menjadi topik hangat di kalangan perusahaan teknologi dunia.

Bahkan, beberapa bidang diperkirakan akan mendapat manfaat dari penerapan kecerdasan buatan.

Salah satunya adalah bidang kedokteran. Kecerdasan buatan disebut mampu menganalisis sejumlah besar data yang memungkinkan dokter melakukan studi, diagnosis, dan pencegahan suatu penyakit.

Terkini, sebagaimana dikutip dari World Economic Forum, Rabu (7/11/2018) teknologi ini diyakini mampu mendiagnosis penyakit Alzheimer lebih dini.

Hal ini dimungkinkan berkat penggunaan machine learning, yang menggunakan algoritma tertentu dalam mempelajari dan mengolah sejumlah data.

Cara kerja machine learning, dalam contoh sederhana, mirip seperti Siri memelajari suara penggunanya dan Facebook memprediksi jenis konten apa saja yang disukai penggunanya.

Untuk melakukan ini, peneliti menerapkan algoritma multilayer clustering guna menganalisis sejumlah besar data, yang diambil dari penelitian Alzheimer’s Disease Neuroimaging Initiative.

Data tersebut bersumber dari tes kognisi, pemindaian otak, dan cairan tulang belakang. Adapun penelitian ini melibatkan 562 orang yang mengalami gangguan kognitif ringan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kecerdasan Buatan Kalahkan Dokter Saat Diagnosis Tumor Otak

Sebeluknya, kecerdasan buatan juga sempat menunjukkan tajinya di bidang kesehatan. Kali ini, kecerdasan buatan asal Tiongkok yang dilaporkan berhasil mengungguli kemampuan diagnosis dokter.

Dilaporkan Xinhua, sebuah sistem kecerdasan buatan berhasil mengalahkan tim yang terdiri dari 15 doktor kenamaan Tiongkok dalam hal mendiagnosis tumor otak dan memprediksi hematoma.

Dari uji coba yang dilakukan, kecerdasan buatan ini berhasil mengunguli kemampuan dokter saat melakukan diagnosis dua penyakit tersebut. Dikutip dari The Next Web, Rabu (4/7/2018), kecerdasan buatan ini diberi nama BioMind.

Sistem ini dikembangkan oleh Artificial Intelligence Research Centre for Neurological Disorders dari Rumah Sakit Tiantan Beijing. Saat uji coba, kemampuan BioMind ternyata berada di atas rata-rata kemampuan para dokter.

Saat menelaah sejumlah kasus tumor otak, BioMind berhasil memprediksi benar sekitar 87 persen. Sementara para dokter hanya mampu menjawab benar 66 persen dari kasus yang diberikan.

Kecerdasan buatan ini juga mampu menganalisa kasus dengan lebih cepat. Dalam 15 menit, BioMind berhasil melakukan diagnosis 225 kasus, sedangkan para dokter hanya 30 kasus.

Ketika membahas soal hematoma di otak, BioMind juga berhasil menjawab dengan benar 83 persen kasus yang diajukan. Adapun para dokter hanya dapat melakukan diagonsa yang benar untuk 63 persen kasus.

3 dari 3 halaman

Mengenal BioMind

Sekadar informasi, kemampuan kecerdasan buatan ini ditunjang dengan ribuan gambar arsip milik Rumah Sakit Tiantan Beijing. Kemampuan BioMind juga disebut setara dengan dokter senior dengan tingkat akurasi 90 persen. 

"Saya harap dengan kompetisi ini, para dokter dapat mengetahui kemampuan kecerdasan buatan dan dapat memahaminya lebih lanjut," tutur VP Rumah Sakit Tiantan Beijing, Wang Yongjun.

Pemanfaatan kecerdasan buatan pemanfaatan di bidang kesehatan memang sedang diuji coba sejumlah pihak. Salah satu perusahaan yang melakukan hal tersebut adalah Google.

Bersamaan dengan anak perusahaannya, Verily, Google memanfaatkan software berbekal machine learning untuk menganalisis mata seseorang.

Software itu diklaim akurat untuk mengumpulkan data seseorang, mulai dari umur, tekanan darah, termasuk kebiasannya merokok.

Berbekal data tersebut, software lantas dapat memprediksi apakah seseorang menderita masalah jantung, misalnya berpotensi terkena serangan jantung. 

Software besutan Google ini disebut memiliki akurasi yang sama dengan metode paling mutakhir sekarang ini.

Secara metode, software ini dapat menjadi alternatif baru bagi dokter untuk menganalisa seseorang. Alasannya, hasil pengujian ini membuat proses analisa lebih cepat dan mudah, termasuk tak lagi membutuhkan uji darah.

Kendati demikian, metode ini masih perlu diuji lebih lanjut sebelum benar-benar diterapkan dalam keperluan medis.

(Jek/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.