Sukses

Partai Oposisi Jerman Kritik UU Ujaran Kebencian di Media Sosial

Partai-partai oposisi Jerman menentang UU yang bertujuan menghapus ujaran kebencian di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Partai-partai opisisi Jerman menentang Undang-Undang (UU) yang bertujuan menghapus ujaran kebencian di media sosial. Mereka menilai perusahaan-perusahaan swasta tidak berhak memutuskan soal unggahan yang melanggar hukum.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Free Democratic Party (FDP), Nicola Beer, menyampaikan kepada surat kabar Welt am Sonntag, bahwa pihak yang memiliki kewenangan harus memiliki berbagai alat untuk menegakkan hukum di internet. Oleh karena itu, ia tidak setuju penentuan legalitas sebuah unggahan diserahkan kepada perusahaan media sosial.

Ia menilai UU yang ada sekarang harus diganti dengan yang lebih pantas. UU yang dimaksud bernama Network Enforcement Act atau NetzDG yaitu mewajibkan perusahaan-perusahaan media sosial menghapus berbagai unggahan bersifat ofensif.

"Beberapa hari terakhir jelas terlihat perusahaan-perusahaan swasta ini tidak selalu dapat membuat keputusan yang tepat mengenai pernyataan yang diduga kriminal di internet termasuk melanggar hukum, menyindir atau ekspresi opini yang perlu ditoleransi dalam sebuah demokrasi," ungkap Beer.

Terkait UU baru yang dimaksud, Twitter sudah menghapus unggahan anti-muslim dan anti-imigran yang diunggah oleh anggota partai Alternative for Germany (AfD). Selain itu, situs microblogging tersebut juga memblokir akun Titanic satir setelah memparodikan berbagai komentar anti-Muslim AfD.

Pimpinan Partai Hijau, Simone Peter, menyampaikan pada surat kabar yang sama bahwa pihaknya tidak dapat menerima perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS) seperti Twiter, bisa memengaruhi kebebasan pendapat dan media di Jerman. Pernyataan ini merujuk pada pemblokiran akun satir Titanic.

Setelah akun Titanic diblokir, juru bicara Twitter mengatakan pihaknya tidak berkomentar tentang akun individual untuk alasan keamanan dan privasi. Di sisi lain, Peter menilai media sosial seperti Twitter harus bertanggung jawab atas semua unggahan pada platform mereka, tanpa diberikan peran untuk memberikan penilaian.

Pimpinan parlementer Partai Kiri, Sahra Wagenknecht, mengatakan pihaknya mendukung inisiatif penghapusan UU yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2018 tersebut. "Hukum ini adalah tamparan untuk semua prinsip demokrasi karena dalam konstitusional, pengadilan lah yang membuat keputusan tentang apa yang melanggar hukum dan tidak, bukannya perusahaan," ungkapnya.

Adapun AfD sudah mengumumkan akan mempertimbangkan mengajukan keberatan terhadap UU tersebut. Demikian seperti dikutip dari Reuters, Selasa (9/1/2018).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jerman Berlakukan UU Anti Ujaran Kebencian

Jerman mulai memberlakukan regulasi NetzDG pada 1 Januari 2018. Target dari peraturan ini adalah media sosial termasuk Twitter, Instagram, Facebook, Snapchat, Google dan YouTube. Namun, LinkedIn dan WhatsApp tidak termasuk di dalamnya.

Menurut laporan broadcaster internasional Jerman, Deutsche Welle, peraturan ini sebenarnya sudah efektif sejak Oktober 2017, tapi pemerintah setempat memberikan perusahaan-perusahaan media sosial waktu tiga bulan untuk menyesuaikan diri dengan sistem baru itu.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa Facebook, Twitter dan berbagai perusahaan media lain harus menyelidiki keluhan tentang ujaran kebencian di platform mereka dengan segera.

Perusahaan media sosial harus menghapus unggahan berisi ancaman kekerasan, fitnah dan konten kebencian dalam waktu 24 jam setelah keluhan diajukan atau sepekan jika masalahnya lebih rumit. Media sosial yang tidak mematuhi aturan baru ini akan didenda sebesar 50 juta Euro atau berkisar Rp 798 miliar.

Tidak semua pihak menyambut baik peraturan baru tersebut. Reporters Without Borders pada Juli 2017 menyatakan sistem semacam itu akan berdampak negatif pada kebebasan pers.

"Tenggat waktu singkat untuk menghapus (konten ujaran kebencian), lengkap dengan ancaman denda yang berat, sangat mungkin mendorong media sosial untuk menghapus lebih banyak konten daripada yang dibenarkan secara hukum. Bahkan publikasi jurnalistik akan menghadapi bahaya nyata karena terpengaruh pemblokiran semacam ini tanpa proses hukum," ungkap Direktur Eksekutif Reporters Without Borders untuk Jerman, Christian Mihr.

(Din/Cas)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.