Liputan6.com, Jakarta Setelah menaikkan suku bunga dari 0,25 persen ke 5,5 persen sejak tahun lalu, kebijakan moneter AS saat ini berada pada level paling restriktif sejak 2009. Tekanan inflasi AS saat ini sudah lebih melandai serta tekanan di sektor tenaga kerja juga mulai mereda.
Selain itu, efek tertunda dari akumulasi kenaikan suku bunga akan semakin terasa di ekonomi, sehingga the Fed diperkirakan sudah mencapai puncak dari kenaikan suku bunganya.
Baca Juga
Sementara itu, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia memandang the Fed akan bertahan di level suku bunga tinggi lebih lama (higher for longer).
Data ekonomi AS yang lebih baik dari ekspektasi akan memaksa the Fed untuk tidak buru-buru menurunkan suku bunga, terutama karena pandangan the Fed saat ini bahwa inflasi merupakan risiko lebih besar dibanding risiko pelemahan ekonomi. Potensi turunnya suku bunga the Fed akan mulai terlihat apabila terdapat pelemahan kondisi ekonomi AS.
“Kondisi ini dapat memberi tantangan bagi kebijakan moneter negara lain, karena posisi suku bunga AS sebagai acuan dunia dapat membatasi ruang gerak bank sentral negara lain dalam mengubah suku bunga, karena ‘terpaksa’ ikut menahan tingkat suku bunga mengikuti posisi the Fed,” kata Senior Portfolio Manager Equity Samuel Kesuma.
Dia bilang, selain itu higher for longer juga dapat memicu apresiasi USD, yang memberi tekanan terhadap mata uang negara lain, yang juga ‘memaksa’ bank sentral lain untuk menahan tingkat suku bunga di level tinggi untuk menjaga stabilitas nilai tukar.
Selain dari kebijakan moneter, kondisi suku bunga tinggi juga akan mendorong perusahaan untuk lebih bijak dalam mengalokasikan modal.
Era suku bunga tinggi akan menyebabkan biaya pendanaan lebih mahal dan mendorong perusahaan untuk mengalokasikan modal dengan lebih efisien dan efektif.
Positifnya, kondisi ini dapat menghasilkan kinerja dan profil laba emiten yang lebih berkualitas karena didorong oleh meningkatnya produktivitas, bukan karena leverage dari utang.
Bagi manajer investasi yang melakukan pengelolaan dengan strategi aktif, kondisi ini akan menguntungkan karena analisa mendalam terkait kondisi operasional emiten dapat memberi nilai tambah untuk menghasilkan alpha jangka panjang.
“China saat ini dalam fase ekonomi yang berbeda dengan China 10 tahun yang lalu yang terus mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi. Saat ini China adalah negara yang lebih maju, sudah menjadi salah satu ekonomi terbesar dunia, sehingga fokus pemerintah China beralih dari mengejar pertumbuhan tinggi menjadi pertumbuhan yang lebih berkualitas,” imbuhnya.
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini
Rebalancing
Dalam periode transisi ini tentunya kita akan melihat rebalancing dalam ekonomi China, di mana sektor yang menjadi motor pertumbuhan di masa lampau akan relatif melemah, sementara sektor prioritas untuk masa depan akan semakin berkembang.
Dari perspektif investasi, untuk eksposur di China kami mengunggulkan sektor yang mendapat dukungan dari kebijakan pemerintah China.
Beberapa fokus pemerintah China adalah mendukung konsumsi domestik, memajukan industri energi baru terbarukan, pengembangan ekonomi digital, dan kemandirian sektor ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan fokus kebijakan ini kami melihat sektor yang berhubungan dengan energi baru terbarukan dan rantai pasoknya dapat diuntungkan, serta sektor konsumer dan teknologi juga dapat menjadi unggulan.
China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, sehingga perubahan kondisi ekonomi China dapat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
Komoditas ekspor Indonesia terbesar ke China adalah batu bara, yang permintaannya relatif resilien karena China masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik. Penggunaan batu bara masih mencapai 55 persen dari total bauran energi China.
Advertisement
Perspektif menengah-panjang
Untuk perspektif menengah-panjang, fokus pemerintah China di sektor energi baru terbarukan (EBT) dapat menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang menjadi bahan baku utama di industri EBT seperti nikel dan tembaga.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan industri manufaktur di sektor tersebut berpotensi menjadi komoditas ekspor utama baru bagi Indonesia, mengurangi ketergantungan dari ekspor batu bara.
“Kami memandang BI masih akan mempertahankan tingkat suku bunga di level saat ini 5.75 persen. BI mengindikasikan bahwa masih terdapat alat kebijakan moneter selain mengubah suku bunga acuan yang dapat digunakan BI untuk menjaga stabilitas Rupiah seperti melakukan intervensi valuta asing dan menjaga imbal hasil obligasi di level menarik,” kata dia.
Ke depannya, seiring dengan kekuatan ekonomi AS mulai mereda karena efek suku bunga tinggi, maka tekanan penguatan USD diperkirakan akan mereda. Selain itu Manulife Aset Manajemen Indonesia juga optimis terhadap perkembangan struktural Indonesia dari pembangunan hilirisasi industri metal Indonesia yang dapat berdampak positif pada kinerja ekspor dan memberi kontribusi devisa untuk membantu menjaga stabilitas Rupiah.
Dari perspektif makro ekonomi, kami melihat Indonesia sebagai pasar yang atraktif bagi investor saham. Tahun ini Manulife Aset Manajemen Indonesia melihat inflasi domestik terus melandai, sementara pertumbuhan ekonomi menguat. Ini adalah kondisi unik yang seharusnya ideal bagi pasar saham.
Dari sisi pertumbuhan laba emiten Samuel juga melihat kinerjanya baik, sesuai dengan harapan, sehingga bukan menjadi faktor negatif yang membayangi sentimen.
Mungkin terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi minat investor domestik seperti ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed, kekhawatiran resesi global, ataupun efek crowding out dari penerbitan SBN ritel yang menyerap likuiditas dari pasar saham.
“Saat ini kami melihat valuasi pasar saham Indonesia pada level yang sangat atraktif, berdasarkan PE ratio di level 12x, atau 22 persen lebih rendah dari rata-rata historis. Jadi apabila terdapat pembalikan sentimen di pasar, kami melihat potensi upside yang tinggi di pasar saham,” ujar dia.
Beberapa faktor yang dapat menjadi katalis bagi pasar adalah perubahan postur kebijakan the Fed di mana terdapat indikasi suku bunga tidak naik lagi, selain itu kondisi ekonomi Indonesia yang tetap stabil dapat mengembalikan minat investor domestik terhadap pasar saham.
Manulife Aset Manajemen Indonesia menyusun portofolio untuk menangkap tema pertumbuhan struktural Indonesia di bidang energi terbarukan dan juga pemulihan ekonomi Indonesia. Transisi dunia menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan seperti nikel, tembaga, dan bauksit.
“Kami melihat terdapat emiten di pasar saham yang memiliki posisi baik untuk kapitalisasi tren ini. Selain itu, secara taktikal kami juga melihat potensi dari sektor yang diuntungkan oleh pemulihan ekonomi Indonesia saat ini seperti di sektor finansial. Perbankan Indonesia dalam posisi yang baik di mana rasio kredit bermasalah terus menurun, serta likuiditas masih tinggi,” tandasnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.