Sukses

Cicipi Tolpit Hingga Bir Jawa di Pasar Kangen Jogja

Bukan kuliner kebanyakan sebab yang dijual di areal ini adalah panganan dan minuman yang mulai sulit ditemukan di pasaran. Ada tolpit sampai bir jawa.

Liputan6.com, Yogyakarta Pasar Kangen Jogja kembali hadir di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) mulai 12 sampai 20 Juli 2019. Perhelatan tahunan ini selalu memanjakan pengunjung dengan beragam kuliner unik yang memicu rasa penasaran.

Sebanyak 117 stan kuliner tradisional memenuhi areal Pasar Kangen Jogja. Bukan kuliner kebanyakan sebab yang dijual di areal ini adalah panganan dan minuman yang mulai sulit ditemukan di pasaran. Mereka perlahan punah ditelan masa dan digantikan dengan beragam kuliner kekinian yang kian menjamur.

Tolpit, misalnya, makanan khas Bantul ini pernah sangat dikenal pada 1970-an. Tolpit dikenal karena namanya yang unik. Istilah ini berasal dari kependekan sebutan untuk alat kelamin laki-laki dalam Bahasa Jawa yang terjepit (k****l kejepit).

Sayangnya, sekarang orang mulai susah mencari makanan yang sepintas mirip dengan bolang-baling tetapi memiliki lekuk di tengahnya.

Rita Kristiana, penjual tolpit di Pasar Kangen Jogja, mengambil tolpit dari Marsilah, pembuat tolpit, yang tinggal di Bambanglipuro Bantul. Rita mengakui tolpit semakin sulit dicari karena pembuatnya semakin sedikit dan minim regenerasi.

“Membuat tolpit juga butuh waktu yang tidak sedikit, adonan tepung beras, gula jawa, dan kelapa muda harus didiamkan semalaman, supaya saat digoreng tidak renyah,” ujar Rita, Minggu (14/7/2019).

Selain itu, tepung beras yang dipakai sebagai bahan utama juga bukan tepung beras kemasan, melainkan harus digiling sendiri supaya menghasilkan tekstur yang alami. Menggoreng tolpit pun lebih mudah jika dilakukan oleh dua orang. Satu orang bertugas menuangkan adonan ke loyang dan yang lainnya membuat lekuk di tengah adonan dengan menjepit menggunakan sumpit.

Di Pasar Kangen Jogja, stan kuliner unik bisa ditemukan di belakang Gedung Societet TBY. Cukup dengan Rp 5.000, pengunjung bisa memperoleh tiga buah tolpit yang bertekstur basah dan bercita rasa manis.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kuliner Khas Perbukitan Menoreh

Kuliner tempo dulu dari wilayah perbukitan Menoreh juga ikut meramaikan Pasar Kangen Jogja. Clorot, panganan khas Purworejo, yang dibungkus janur ini juga memancing rasa keingintahuan pengunjung.

Clorot mirip dengan dodol, rasanya manis hanya teksturnya saja yang membedakan. Clorot lebih kenyal ketimbang dodol.

Johan Budi, penjual Clorot di Pasar Kangen Jogja, membanderol Rp 2.000 untuk satu bungkus clorot.

“Sehari-hari ibu saya yang biasa berjualan clorot, tetapi di Pasar Kangen Jogja, saya yang menggantikan ibu saya,” ujar laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah ini.

Ia menguraikan clorot terbuat dari tepung ketan dan gula jawa. Panganan ini harus dikukus selama dua jam setelah dibungkus janur kuning.

Kuliner dari Kulonprogo juga ikut ambil bagian dalam perhelatan ini. Geblek tempe dijual Rp 3.000 per pasang.

Geblek merupakan makanan berwarna putih, berbentuk angka delapan, yang terbuat dari tepung kanji yang digoreng. Sedangkan tempe yang menjadi pasangannya adalah tempe benguk atau tempe dari kacang koro yang diolah dengan santan.

3 dari 3 halaman

Kuliner Para Raja Yogyakarta

Di bagian belakang Gedung Societet TBY terdapat menu yang muncul pada masa Sultan HB VII dan HB VIII. Stan Kuliner Priyayi menjual bir jawa dan songgobuwono. Segelas bir jawa dibanderol Rp 8.000 dan satu porsi sonngobuwono Rp 10.000.

“Sudah empat tahun kami ikut Pasar Kangen Jogja dan memperkenalkan menu bangsawan Yogyakarta tempo dulu,” ujar Rizki, pemilik stan Kuliner Priyayi.

Bir jawa merupakan menu favorit Sultan HB VII yang ingin menciptakan minuman khas sendiri karena sering melihat prajurit Belanda minum bir. Namun, ia tidak ingin memasukkan alkohol sebagai salah satu komposisinya karena pada saat itu kerajaan Mataram sudah menganut Islam.

Akhirnya, ia membuat minuman bir jawa yang terdiri dari campuran jahe, secang, kapulaga, serai, kayu manis, gula batu, dan jeruk nipis. Rasanya pun menyegarkan sekaligus menyehatkan karena kaya rempah.

Sementara songgobuwono adalah menu hasil akulturasi budaya Jawa dan Eropa yang hadir di Keraton Yogyakarta oada masa pemerintahan Sultan HB VIII. Bentuknya berupa roti sus isi selada, rogut daging, dan telur yang atasnya disiram saus mayones dan diberi acar.

Makanan ini menyimbolkan harmonisasi kehidupan. Selada diibaratkan tumbuhan penyangga, roti sus melambangkan Bumi, rogut daging berarti penduduk Bumi, telur menyimbolkan gunung, saus mayones menunjukkan langit dan acar menyimbolkan bintang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.