Sukses

Cerita Perjuangan Bocah Bombana Melintasi Sungai Banyak Buaya Saat Pagi

Sungai Poleang, berjarak sekitar 224 kilometer dari Kota Kendari atau 5 jam perjalanan dengan kendaraan roda empat. Dari Rumbia, ibukota Kabupaten Bombana, berjarak sekitar 30 kilometer.

Liputan6.com, Kendari - Bercerita tentang Kabupaten Bombana, teringat wilayah penghasil emas dan lumbung padi terbesar di Sulawesi Tenggara setelah Konawe Selatan.

Tapi, jauh di pedalaman Bombana, di Dusun V Laretehonda Desa Tampabulu, Kecamatan Poleang Utara, sekitar 30 kepala keluarga bersama anak-anaknya setiap hari menantang maut dengan menyeberangi sungai beraliran deras.

Sungai Poleang, warga disana menyebutnya. Di seberang sungai selebar 25 meter dengan panjang 84 kilometer itu, ada warga petani yang hidup nyaris terisolasi dari dunia luar sejak hampir 30 tahun lamanya.

Sungai Poleang, berjarak sekitar 224 kilometer dari Kota Kendari atau 5 jam perjalanan dengan kendaraan roda empat. Dari Rumbia, ibukota Kabupaten Bombana, berjarak sekitar 30 kilometer.

Hingga hari ini, tak ada jembatan untuk menyeberang ke desa Tampabulu, pusat perekonomian warga desa. Ada satu jalur alternatif melewati darat, tapi memutar 5 kilometer dengan berjalan kaki. Pada musim hujan, jangankan manusia, hewan pun enggan melewati wilayah itu.

"Mereka hanya memiliki rakit untuk menyeberang sungai, jadi anak sekolah dan orang tua bergantian 2-3 orang menggunakan rakit kayu untuk menyeberang," ujar Yusak (27), salah seorang warga Desa Tampabulu, Jumat 11 Januari 2019.

Rakit dari kayu dan bambu itu, diikat pada 2 utas tali nilon yang dibentangkan dari kedua sisi sungai. Jika hendak menyeberang, para bocah harus menarik salah satu tali yang dipasangi  katrol sehingga mereka ikut tertarik hingga di sisi sungai.

Yusak bercerita, ada sekitar 30 orang anak sekolah usia sekolah dasar dan menengah pertama yang melewati rute berbahaya itu setiap pagi hari. Begitupun saat siang hari sepulang sekolah. Ditambah para orang tua, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani kakao dan padi.

"Kalau lagi ada orang tua mereka, murid SD itu ditemani. Kalau tidak, yaa mereka nekat menyeberang sendiri untuk pergi ke sekolah di seberang desa," cerita Yusak.

Musim hujan paling mendebarkan buat anak-anak sekolah itu. Meskipun nyaris tak ada korban jiwa sejak beberapa tahun lalu, namun arus sungai sangat deras dan mengancam nyawa para bocah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Banyak Buaya

"Belum lagi, sungai Poleang itu kan banyak buaya. Ada beberapa warga yang cerita, Alhamdulillah mereka masih aman-aman saja menyeberang," tambah Yusak.

Soal buaya, Liputan6.com pernah memberitakan pada 18 Juli 2018, seekor buaya berukuran besar kesasar di lokasi persawahan warga di desa tetangga. Daerah persawahan berada di sisi aliran sungai Poleang, sungai yang juga memisahkan Dusun V dengan Desa Tampabulu.

Setelah 'dikeroyok' sekitar 10 orang warga, buaya berhasil diikat dan diamankan. Meskipun tak memakan korban jiwa, buaya sepanjang tiga meter itu sempat membuat warga takut berjalan sendiri menuju sawah.

Banjir di sungai Poleang pada musim hujan, menjadi mimpi buruk bagi sejumlah pelajar. Air sungai yang naik hingga satu meter lebih, tidak bisa diseberangi oleh rakit.

Irfan (11), murid sekolah dasar di SDN 104 Tampabulu mengatakan, jika sungai sedang banjir dia terpaksa harus rela tinggal di rumah saja.

"Yang tidak enak kalau ada tugas sekolah. Pasti kami ditanyai ibu guru," cerita Irfan.

Dia melanjutkan, setelah selamat  menyeberangi sungai, perjuangan mereka menuju ke sekolah belum selesai. Ia bersama rekannya, harus berjalan kaki melewati kebun kakao dan padi dengan rute sepanjang 4 kilometer untuk bisa sampai di sekolah.

"Kadang terlambat, karena harus jalan kaki. Tapi kami senang karena banyak teman di jalan," ujar Irfan polos.

Alda (13) salah seorang pelajar SMP punya cerita lain soal kampungnya. Di dusun V, dia hanya bisa menikmati listrik saat malam hari.

"Malam baru bisa ada lampu, siang dimatikan. Karena listrik dari tenaga surya," katanya.

Pelajar kelas VII SMP ini berharap, suatu saat nanti ada jembatan penyeberangan yang menghubungkan rumahnya dan Desa Tampabulu. Sehingga, dia dan bersama warga desa lainnya tidak takut tenggelam saat menyeberang.

"Kalau ada jembatan bagus, saya tak perlu minta antar sama bapak kalau sungai lagi banjir," katanya.

Wakil Kepala SDN 104 Tampabulu Muchdori mengatakan, prestasi murid-murid asal Dusun V sebenarnya bagus. Nyaris tak ada masalah bagi mereka saat mengikuti pelajaran di sekolah.

"Hanya kalau banjir di sungai kita guru-guru harus paham kondisi mereka. Kalau mereka tak datang sekolah atau telat, kita maklumi," katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.