Sukses

Tantangan Pegiat Anti Korupsi untuk KPK

Masyarakat Anti Korupsi Sulsel (MARSS) menantang KPK ambil alih penanganan sejumlah kasus-kasus korupsi di Sulsel yang mandek bertahun-tahun

Liputan6.com, Makassar - Sejumlah lembaga penggiat anti korupsi yang tergabung dalam Masyarakat Anti Korupsi Sulawesi Selatan (MARSS) merilis seluruh penyelidikan hingga penyidikan kasus-kasus korupsi di Sulsel yang berjalan mandek meski telah disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Beberapa Kasus korupsi yang disupervisi KPK namun mandek yakni kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja, dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Kabupaten Pangkep, dugaan korupsi reklamasi Central Point Indonesia (CPI).

Selain itu dugaan korupsi pembangunan laboratorium di Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (UNM), dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa Makassar serta dugaan korupsi penyimpangan anggaran dana reses DPRD Makassar.

"Seluruh kasus-kasus korupsi yang kami jelaskan di atas hingga saat ini tak ada kejelasan. Bahkan ada yang sudah mandek hingga enam tahunan," kata Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Abdul Muthalib yang juga bertindak selaku kordinator gerakan Masyarakat Anti Korupsi Sulawesi Selatan (MARSS) dalam rilisnya ke Liputan6.com, Rabu (24/10/2018).

ACC Sulawesi bersama dengan lembaga NGO lainnya diantaranya FIK Ornop, Walhi Sulsel, Perak Institute dan sejumlah akademisi yang tergabung dalam MARSS tersebut menyepakati untuk menantang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan seluruh kasus-kasus korupsi di Sulsel yang telah disupervisi oleh KPK dan hingga saat ini berjalan mandek.

"KPK seharusnya menjalankan fungsi kordinasi dan supervisi (korsup) secara profesional dan sesuai dengan amanah UU KPK khususnya kasus-kasus yang telah disupervisi di Sulsel tapi mandek dan mendapat sorotan masyarakat luas," tegas Muthalib.

Ia menyayangkan sikap KPK yang tidak maksimal dalam mengawal hasil supervisinya terhadap sejumlah kasus-kasus korupsi yang telah ditangani oleh institusi penegak hukum di Sulsel. Baik oleh Polda Sulsel maupun Kejati Sulsel.

"Kenyataannya demikian. KPK bermasa bodoh. Mau dilaksanakan hasil supervisi atau tidak, itu dibiarkan saja berlalu oleh KPK. Ini yang kami sayangkan," terang Muthalib.

Saksikan Video Pilihan Di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perjalanan Kasus Dugaan Korupsi Pembebasan Lahan Bandara Tana Toraja

Tepat 6 tahun lamanya, proses penyidikan dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja oleh penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel tak juga rampung.

Meski dalam kasus yang menetapkan 8 orang tersangka itu juga telah melalui proses supervisi dan gelar perkara bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya.

"Sampai detik ini belum ada kejelasan bahkan sudah masuk 6 tahun penyidikannya belum juga rampung. Padahal kasus ini telah disupervisi oleh KPK atas permintaan Polda Sulsel sendiri. Tapi ternyata itu diabaikan juga," kata Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Abdul Muthalib.

Ia menilai sejak awal Polda Sulsel tak serius menyelesaikan kasus tersebut. Bahkan terkesan ada dugaan penyidikan kasus ini hendak dihentikan alias SP3.

Sikap Polda Sulsel dalam penanganan kasus Bandara Mangkendek, diakui Muthalib, sangat aneh jika dibandingkan dengan penanganan kasus dugaan korupsi lainnya yang ditangani. Dimana Polda bersikap agresif.

"Kami duga keras kasus ini hendak dihentikan padahal telah memakan anggaran negara cukup banyak dalam proses penyelidikan hingga penyidikannya," terang Muthalib.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Salahuddin mengatakan hingga saat ini pihaknya belum menerima adanya pelimpahan kembali berkas perkara para tersangka dalam dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja dari penyidik Tipikor Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel.

"Pernah berkasnya dilimpahkan tapi itu sudah lama. Itupun berkas dikembalikan kembali setelah diteliti karena belum memenuhi petunjuk awal yang kita berikan dan hingga saat ini belum ada pelimpahan kembali," kata Salahuddin ditemui diruangan kerjanya, Rabu (24/10/2018).

Menurutnya petunjuk yang sampai saat ini belum dipenuhi oleh penyidik Polda Sulsel yakni petunjuk yang disesuaikan dari hasil supervisi KPK sebelumnya.

"Kami sampai saat ini terbuka dan pada dasarnya menunggu penyidik Polda Sulsel lakukan pelimpahan kembali. Tapi hingga saat ini belum ada kami terima pelimpahan berkas kembali," terang Salahuddin.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif kaget mendengar kabar penyidikan dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Kabupaten Tana Toraja yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel belum rampung hingga saat ini.

Sementara kasus tersebut, diakuinya, telah disupervisi dan dilakukan gelar perkara bersama dengan menghadirkan penyidik Polda Sulsel dan tim peneliti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel di gedung KPK.

"Hasil supervisi sudah jelas. Itu juga merupakan permintaan Polda Sulsel dan Kejati Sulsel. Kita juga sudah lakukan gelar perkara bersama di KPK. Oh ya belum rampung yah saya coba cek nanti," kata Laode ditemui usai menghadiri acara Bung Hatta Tour yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar di gedung Aula Fakultas Pertanian Unhas, Rabu 6 September 2017 lalu.

Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.

Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy, Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang, Mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Di tahun 2017, KPK melakukan supervisi dan mengundang Polda Sulsel dan Kejati Sulsel melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung rampung.

Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40.250 per meter persegi. Sementara hal itu belum disepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI No 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang diperiksa penyidik saat itu. Beberapa saksi membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 Miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 miliar lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Informasi yang dihimpun Liputan6.com, kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan dikuatkan putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

 

3 dari 3 halaman

Kronologis Dugaan Korupsi Pengadaan Alkes Pangkep

Perjalanan kasus dugaan korupsi pengadaan Alkes di Kabupaten Pangkep sempat dikabarkan mandek dan kemudian dihentikan menyusul seorang istri tersangka diam-diam mengembalikan uang yang disinyalir sebagai kerugian negara kepada penyidik Kejati Sulselbar senilai Rp 5,9 miliar.

Pengembalian uang yang diduga merupakan kerugian negara tersebut, kemudian berimbas dengan ditangguhkannya upaya penahanan terhadap tiga orang tersangka yang kemudian kasusnya menghilang dan akhirnya resmi dinyatakan dihentikan alias SP3.

"Kasusnya sudah dihentikan (SP3) sudah lama itu," singkat Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin diruangan kerjanya, Rabu (24/10/2018).

Di masa kepemimpinan Hidayatullah selaku Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel, kasus dugaan korupsi penggelembungan pengadaan alat kesehatan (Alkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pangkep, tak hanya dinyatakan sebagai kejahatan korupsi biasa. Melainkan kejahatan kemanusian yang luar biasa.

Salah satunya, kata Hidayatullah, dalam pengerjaan proyek ditemukan perbuatan pemalsuan alat kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan masyarakat.

"Saya katakan ini kejahatan yang sangat luar biasa. Luar biasa jahatnya orang yang terlibat dalam kasus ini," tegas Hidayatullah, Minggu, 19 Februari 2017.

Ia mengatakan, kejahatan para pihak yang terlibat dalam manipulasi dan pemalsuan alat kesehatan dapat membuat nyawa masyarakat terancam akibat salah diagnosa alat kesehatan abal-abal yang diadakan tersebut.

Di wilayah Kepulauan Pangkep sendiri masih terdapat masyarakat bawah yang notabene awam dalam ilmu kesehatan dan mudah mempercayai diagnosa kesehatan dari alat yang terkualifikasi palsu dan tidak memiliki izin edar tersebut.

"Karena palsu sudah tentu pasti alat yang dimaksud itu tidak berfungsi normal. Ini jelas membodohi masyarakat dan mempermainkan nyawa," ungkap Hidayatullah.

Dari proses penyidikan ditemukan beberapa alat kesehatan yang diadakan tersebut, kondisinya rusak dan berkarat dengan cap atau merk yang telah terkelupas. Padahal penggunaannya belum tiga bulan.

Tak hanya itu, penyidik juga sebelumnya mengendus keterlibatan adik Bupati Pangkep bernama Syamsul A Hamid Batara yang dikenal dengan gelaran Tuan Kelantang dalam kasus dugaan korupsi penggelembungan pengadaan alat kesehatan (Alkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pangkep tersebut.

Dugaan keterlibatan Tuan Kelantang yang diketahui sebagai pemilik perusahaan Batara Group dalam proyek tersebut yakni sejak awal terlibat dalam pengaturan pengadaan Alkes. Padahal ia bukan bagian dari aparat pemerintah Kabupaten Pangkep.

Selanjutnya, ia juga memanfaatkan hubungan persaudaraannya dengan Syamsuddin A Hamid Batara yang saat ini menjabat sebagai Bupati Pangkep, sehingga leluasa melakukan pengaturan pengadaan alkes tahun 2016.

"Dalam pengaturan pengadaan itulah, sejumlah perbuatan melawan hukum terjadi diantaranya permufakatan jahat, penggelembungan harga alat kesehatan, pemalsuan merk dagang alat kesehatan, pemalsuan izin edar alat kesehatan serta penggunaan anggaran bukan peruntukannya alias korupsi," terang Hidayatullah kala itu.

Seorang broker proyek, Dokter Susanto Cahyadi, yang ditetapkan awal sebagai tersangka dan sempat ditahan Kejati Sulselbar tepatnya Selasa, 14 Februari 2017 pada kasus ini juga disinyalir punya keterkaitan khusus dengan pria berjuluk Tuan Kelantang itu. Menurut informasi yang didapatkan penyidik saat itu dimana antara Syamsul dan dokter Susanto sempat bertemu dan rapat bersama sekaitan pengadaan alkes.

Hanya saja dalam proses pendalaman informasi tersebut, Hidayatullah keburu dimutasi ke Jawa Barat. Dan akhirnya upaya proses pendalaman yang dilakukan penyidik pun menjadi samar.

Proyek alkes sendiri diketahui menyedot dana alokasi khusus(DAK) senilai Rp 22,998 miliar. Dalam pelaksanaannya diduga terjadi penyimpangan utamanya dalam pembelian alat mesin. Dimana penentuan harga perkiraan sementara (HPS) dilakukan tanpa survei. Melainkan mengacu hanya berdasarkan informasi dan rekomendasi rekanan proyek.

Pada HPS harga dimasukkan senilai Rp 500 juta per unit, sementara harga dipasaran, hasil temuan penyidik alat tersebut hanya seharga sekitar Rp 200 juta.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan ditemukan bahwa mesin alat kesehatan yang diperuntukkan bagi beberapa puskesmas belum memiliki izin edar di Indonesia. Kemudian dalam proses lelang juga dinilai ada rekayasa. Tiga perusahaan yang ikut dalam proses lelang, dua perusahaan diantaranya sengaja tidak dimenangkan dalam proses lelang proyek.

Diduga pemenang lelang dalam proyek telah diatur sedimikian rupa untuk memenangkan perusahan yang dimaksud sebab dua perusahan melakukan penawaran melebihi pagu anggaran.

Pernyataan Hidayatullah pun didukung oleh Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Sulawesi dimana disebutkan beberapa pelanggaran dalam pelaksanaan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Pangkep Tahun Anggaran 2016 tersebut.

Pertama proses pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun anggaran 2016 pada Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep tidak sesuai ketentuan. Dimana penyusunan Harga Penetapan Satuan (HPS) tidak didasarkan atas survey harga diwilayah setempat. Melainkan HPS tersebut disusun berdasarkan surat penawaran yang diperoleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kasubag Perencanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep.

Selanjutnya, dari LHP BPK juga ditemukan adanya indikasi pemahalan harga dalam penyusunan HPS. HPS disusun dengan dasar penawaran dari penyalur, dimana harga satuan untuk dental unit jauh melebihi harga satuan standar yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Pangkep Nomor 486 tahun 2016. Diantaranya Harga dental unit merek king asal negara Jepang, ditetapkan melalui SK sebesar Rp 180.000.000 sedangkan dental unit dalam HPS sebesar Rp 625.000.000.

SK Bupati tentang penetapan standarisasi harga satuan barang dan jasa itu diterbitkan pada tanggal 26 Juli 2016. Meski setelahnya tepatnya pada tanggal 1 September 2016, SK Bupati itu dicabut dan diganti dengan SK Bupati nomor 569 tahun 2016 yang sama sekali tak mencantumkan penetapan harga standarisasi.

Temuan berikutnya yakni proses pengadaan alkes yang ada tidak melalui sistem e-purchasing. Melainkan proses lelang dilakukan karena mengikuti perintah Pengguna Anggaran (PA) dan tidak pernah melakukan pengecekan di e-katalog. Padahal sesuai ketentuan yang ada, proses pengadaan untuk barang-barang yang sudah ada di e-katalog dilakukan e-purchasing.

Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya indikasi pengaturan peserta lelang. Dimana dari tiga perusahaan yang memasukkan penawaran yakni PT. Aras Sanobar, PT. Toba Medi Sarana dan CV. Jaga Sarana Kencana, terdapat dua penawaran yang diunggah dari sumber yang sama yakni berasal dari desktop IP 180.251.172.8.

Dua perusahaan yang memasukkan penawaran dari sumber yang sama tersebut diketahui penawaran milik PT. Aras Sanobar dan CV. Jaga Sarana Kencana.

Kemudian ada juga temuan terkait kinerja Pokja ULP. Dimana Pokja ULP tidak melakukan evaluasi dokumen penawaran. Diantaranya tak pernah mengunduh dokumen penawaran yang masuk. Tapi dokumen penawaran hanya pernah diunduh oleh user inisial AY yaitu auditor BPK yang sedang melakukan pemeriksaan.

Selain itu, Izin edar alat kesehatan juga tidak dapat ditelusuri dan enam unit alat kesehatan belum didistribusikan dan masih berada digudang rekanan. Itu ditemukan saat tim pemeriksa BPK bersama PPK memeriksa fisik alkes ke gudang penyimpanan alat yang berlokasi di Kabupaten Maros tepatnya pada tanggal 24 Februari 2017.

Enam unit alat kesehatan masing-masing 3 unit dental unit dan 3 unit incubator bayi yang rencananya didistribusikan ke 3 unit puskesmas yakni ke Puskesmas Lk. Kalmas, Puskesmas Lk. Tangata dan Puskesmas Sarappo tersebut ditemukan tersimpan digudang milik PT. Aras Sanobar.

Terakhir, BPK juga menemukan sikap PPK yang tidak cermat dimana melakukan pembayaran tidak sesuai dengan kontrak yang ada. PPK membayar pengerjaan sebesar 30 persen atau senilai Rp 6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 30 persen atau senilai Rp 6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 20 persen.

Dari temuan diatas tersebut, BPK resmi menyimpulkan bahwa pengerjaan proyek pengadaan Alkes telah terjadi dugaan kerugian negara sebesar Rp 700 Juta lebih dari total anggaran yang telah digunakan sebesar Rp 22 Miliar lebih.

Hasil penyidikan kasus ini telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.