Sukses

Ngadhang Sore, Cara Seniman Purbalingga Memaknai Ramadan

Inilah pementasan pertama paling keren sepanjang sejarah pertunjukkan di Purbalingga.

Liputan6.com, Purbalingga- “Lelah hatiku terpaku / Menatap riuhnya hari / Hingga ku merasa rindu / Pada negeri landai lembah, disana.”

Lirik lagu keroncong ‘Kala Itu’ yang bermakna kerinduan pada kota Perwira mengalun syahdu di Alun-alun Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu malam, 9 Juni 2018. Spesial malam minggu itu, Harmoni Kerontjong Moeda (HKM) featuring Banyumas Raya Orkestra menyajikan sebuah pertunjukan Chamber Orkestra dalam acara ‘Ngadhang Sore’. Tak tanggung-tanggung, musisi yang bermain di atas panggung mencapai 49 orang.

“Dalam sejarah pertunjukan di Purbalingga, penampilan orkestra baru pertama kali ini diadakan,” kata Canggih Finalti (Icang), music director pada pertunjukan tersebut.

Para musisi memainkan violin, viola, flute, saxophone, perkusi, france horn, combo, dan gitar klasik yang mengiringi lima vokalis sesuai gerakan tangan sang conductor. Tentu saja, pertunjukan itu memana para pengunjung alun-alun.

Pertunjukan perdana orkestra di pusat kota itu merupakan perpaduan antara orkestra dan keroncong. Selain lagu keroncong, lagu pop juga dibawakan dengan aransemen ethnic pop keroncong.

Canggih mengaransemen empat lagu yakni, Mahadaya Cinta karya Guruh Soekarnoputra, Kala Itu dan Balada Dewabrata karya Canggih, serta Kisah Cintaku yang dipopulerkan Chrisye. Satu lagu, Selendang Sutra karya Ismail Marzuki di aransemen oleh Widya Andana, salah satu pemain flute pada pentas tersebut.

Inilah salah satu pemaknaan tentang ramadan dari seniman Purbalingga.

Simak Video Menarik di Bawah:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pertama, Pementasan Keren

Ngadhang Sore dibuka oleh G-String Trio dengan membawakan song theme serial kartun Doraemon dan video game Mario Bros yang berdenting lentik dari senar gitar mereka. Sesudahnya para sastrawan bergantian membacakan puisi di atas panggung.

Penyair yang tampil ialah Thomas Haryanto Soekiran, Chune Yulianto, Ryan Rachman, Setyo Wibowo, dan Lintang. Salah satu penyair, Ryan Rachman menunjukan bagaimana sajak-sajak mesra untuk kekasih dibunyikan, tentu saja diselingi banyolan khas Banyumasan sebagaimana biasa ia di atas panggung.

“Baru kali ini ada pementasan bagus di Purbalingga,” kata salah satu warga, Mailia Ajeng Hening Mahargiyanti.

Untuk mempersiapkan pentas tersebut, Canggih mengaku tidak kesulitan. Para musisi tersebut terdiri dari akademisi dan musisi se Eks Karesidenan Banyumas dan sekitarnya yang memang sudah piawai dalam bermusik.

Mereka hanya berkoordinasi lewat grup Whatsapp untuk mendapatkan materi berupa notasi aransemen. Kemudian para musisi berlatih secara pribadi di rumahnya.

“Baru pada H-1 pementasan, kami berlatih bersama di aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purbalingga,” Icang menambahkan.

Acara tersebut ditujukan untuk mengedukasi dan memberi hiburan kepada masyarakat tentang sajian musik yang berformat orkestra. Sehingga warga Purbalingga bisa melihat langsung, tidak hanya dari siaran televisi.

Melihat antusias luar biasa dari warga Purbalingga, selayaknya mereka mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Kabupaten. Terlebih lagi, masing-masing musisi itu konsisten dan memiliki tekad dalam berkarya, khusunya dalam melestarikan musik keroncong.

“Kami berharap Pemkab memberi wadah dan dukungan untuk kami memberi edukasi dan hiburan gratis ekslusif untuk masyarakat,” katanya.

 

3 dari 3 halaman

Peringatan 100 Hari Haryono Soekiran

Acara setiap tahun saat bulan Ramadhan tersebut juga diselenggarakan untuk mengenang Haryono Soekiran (HS) yang berjasa besar dalam membangun seni sastra di Purbalingga. Hari pertunjukan bertepatan dengan 100 hari meninggalnya seniman serba bisa itu.

Dilansir dari laman blog pribadinya, Haryono Soekiran kelahiran Purbalingga, 25 Desember 1961. Karya Puisi pertama kali termuat di Tabloid Mutiara tahun 1978. Setelah itu, karya puisinya termuat di mass media seluruh Indonesia dan berbagai buku antologi puisi.

Dia pernah kuliah di FISIP Unwiku Purwokerto, IKIP PGRI semarang, Alumnus Perawat Karyadi Semarang tahun 1983. Awal ia bekerja di Dinas Kesehatan Purbalingga pada 1984, kemudian tahun 2005 mutasi di Dinas Pedidikan dan Kebudayaan Purbalingga.

HS juga seorang punggawa di Teater MULA dan Sutradara dalam berbagai pementasan. Kemudian selama beberapa periode ia ditunjuk sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Purbalingga hingga akhir hanyatnya. Selain itu, dia pula yang menjadi pembina musik Harmoni Kerontjong Moeda sejak pertama kali didirikan, 2015.

putra HS, Abimanyu Harsadosastro (28) menceritakan dalam satu hari, jam yang dihabiskan untuk keluarga bisa dihitung dengan jari. Selebihnya, dia menghabiskan waktu melatih dan membangun kelompok-kelompok kesenian di Purbalingga.

“Beliau tidak menetap di satu pusat kegiatan seni, bergerilya dari satu desa ke desa demi terbangunnya seni budaya di Purbalingga,” ujarnya.

Sekalinya banyak menghabiskan waktu dengan keluarga adalah saat ia mengalami sakit. Dimulai dari sana, seniman muda seakan kehilangan sosok pembimbing.

Tetapi, Abimanyu yakin, tunas-tunas muda yang telah ditanam ayahnya akan tumbuh menjadi pohon rimbun yang menaungi Purbalingga dalam bidang seni budaya. Hanya saja, butuh dukungan dari Pemerintah Kabupaten untuk memupuk dan menyiangi lingkungan mereka hidup.

“Ayah saya telah menyiapkan lahan dan bibit, dasar-dasarnya sudah lengkap, tinggal dibesarkan saja,” katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.