Sukses

Instalasi Seni Keren, Pengunjung Berasa di Dalam Kamera Obscura

Iswanto membuat seni instalasi berjudul “I Can See The World” dari kayu dan 25 lensa sebagai refleksi dari alat memotret peristiwa kehidupan masyarakat sejak dahulu kala.

Liputan6.com, Bandung - Makin ke sini instalasi seni semakin beragam tema dan bentuknya. Seperti karya baru inspiratif yang dilakukan oleh Iswanto Soerjanto dalam pameran tunggal perdananya bertajuk Re-Definition di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Kota Bandung.

Walau sebatas instalasi, sebuah kamera obscura raksasa dengan modifikasi yang lebih kekinian menarik perhatian sebagian besar pengunjung pada Sabtu, 21 April 2018.

Iswanto membuat seni instalasi berjudul “I Can See The World” dari kayu dan 25 lensa sebagai refleksi dari alat memotret peristiwa kehidupan masyarakat sejak dahulu kala.

Mereka yang mengunjungi pameran keluar masuk instalasi seni kamera ini. Di sini, pengunjung bisa merasakan suasana kamera obscura buatan Iswanto sambil berfoto-foto.

Karya instalasi lainnya adalah Transformation in the Moment yang menunjukkan proses pembuatan karya pameran. Iswanto yang merupakan seniman berbasis fotografi memamerkan proses bagaimana ia membuat karya.

Selain dua karya instalasi seni tersebut, sebanyak 12 karya dengan teknik Cyanotipe, 25 karya diproduksi dengan teknik Chemigram dan 5 karya yang diproduksi dengan teknik Photogram turut menghiasi pameran yang berlangsung hingga 30 April 2018 ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tanpa Kamera dan Lensa

Iswanto mengaku, penelusuran terhadap akar sejarah fotografi menjadi awal ketertarikannya membuat pameran ini. Menurut dia, banyak teknik fotografi yang dianggap usang justru masih relevan untuk dijadikan metoda dalam proses berkarya saya. Tentunya, dengan beberapa modifikasi.

"Saya cenderung menjauhkan karya fotografi dari realita sosial dengan cara tidak memakai kamera lagi, walaupun karya fotografi saya akan hadir di medan fotografi seni pada akhirnya," ujar Iswanto ditemui Liputan6.com.

Praktik merekam realitas yang ia kerjakan memang tidak menggunakan kamera (cameraless). Sebuah metoda yang dianggap tidak umum lagi dalam proses berkarya dalam konteks keseharian.

"Yang membedakan adalah proses sebelum merekam realitas dalam pemahaman fotografi pada umumnya, saya harus dapat menyerap apa yang tidak tergambar tanpa bisa diprediksi," jelasnya.

Iswanto berpendapat bahwa perkembangan fotografi dan sejarahnya yang panjang itu seharusnya mampu menemukan kembali maknanya bagi kehidupan manusia, bukan hanya sekadar sebagai alat dokumentasi. 

Sejak 2015 lalu, Iswanto memutuskan untuk pensiun dari profesi fotografer komersial dan terjun ke dunia seni kontemporer. Ia merasa dibuat bingung dengan konten naratif dalam kecenderungan karya-karya seni Indonesia.

Dalam perjalanannya menggeluti fotografi kontemporer, Iswanto melihat perkembangan praktik fotografi melalui dunia maya.

"Saya dapat pencerahan bahwa saya harus mencari lagi akar sejarah fotografi pada kali pertama digali untuk mengawali sebuah perjalanan di dunia yang baru ini. Saya memilih untuk tidak mengikuti arus zaman dengan trending digital photography yang tergelincir pada praktik dokumentasi," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Pameran Langka di Indonesia

Proses merekam dalam praktik fotografis yang dikerjakan Iswanto tidak menggunakan kamera (cameraless) dan tanpa lensa (lensless) juga. Karya-karya cameraless image tersebut terbilang langka di Indonesia karena keterbatasan chemical material, kertas sensitif cahaya dan peralatan kamar gelapnya.

Secara garis besar pameran Re-Definition ini menyajikan dua tema utama yaitu transformasi dan meditasi garis. Iswanto menjelaskan bahwa transformasi bercerita tentang perubahan wujud fotografi dalam bingkai sejarahnya sedangkan meditasi garis adalah pemikirannya tentang fotografi.

Lima tahun terakhir ini, Iswanto Soerjanto memang banyak bekerja di kamar gelap untuk memproduksi karya seninya dengan material kertas. Iswanto bekerja secara langsung pada medium kertas dengan formulasi kimia dan kertas sensitif cahaya.

Selain itu, proses karya cameraless image dibuat tidak membutuhkan model perempuan cantik atau lanskap alam yang mempesona untuk menciptakan karyanya. Ia membutuhkan kertas sensitif cahaya dan obat-obat kimia untuk bekerja di kamar gelap.

“Alasan saya memilih Bandung untuk menghelat pameran perdana ini bahwa karya-karya eksperimentasi dan corak abstrak yang saya buat terkait dengan sejarah dan perkembangan seni rupa Bandung,” jelasnya.

Pameran ini dibingkai oleh kuratorial yang merujuk pada sejarah fotografi pada masa di mana kamera obscura belum masif dijadikan alat dan konteks cameraless image saat ini di medan seni rupa kontemporer melalui abstraksi yang dikerjakan seniman.

“Karya-karya Iswanto Soerjanto dalam pameran Re-Definition ini mengetengahkan wacana cameraless image dalam konteks karya fotografi seni hari ini, yaitu unique print, personal, chemical-based dan non-naratif,” tambah kurator pameran, Argus FS.

Dia menyebutkan, corak abstrak yang dihasilkan melalui teknik photogram, chemigram dan cyanotipe dapat membuka wawasan seni rupa saat ini.

"Bahwa karya fotografi seni dengan material ini dianggap sebagai karya seni organik, eksperimental, berbasis pengetahuan material, bersejajar dengan praktik visual art saat ini," ujarnya.

Pameran tunggal Iswanto Soerjanto ini telah dibuka oleh kurator dan gallerist Hermanto Soerjanto sejak Jumat (20/4/2018). Bincang Karya akan diselenggarakan pada tanggal (27/4), pukul 15.00 WIB. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.