Sukses

Potret Kecil Toleransi Beragama di Bulan Ramadan

Salah satu siswa beragama Kristen mengaku bangga bisa menjadi bagian bangsa Indonesia yang tengah berbahagia di bulan Ramadan.

Liputan6.com, Cilacap - Sore itu, puluhan siswa tampak sibuk memindahkan berpuluh kardus air mineral dan ratusan bungkus makanan di halaman gereja, persis di halaman sekolah mereka. Mereka hendak membagikan makanan untuk berbuka puasa kepada para pekerja jalan ke seantero Kota Kecil Sidareja dan sekelilingnya.

Jangan kaget, mereka adalah siswa SMK Yos Soedarso Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah, sekolah yang berafiliasi dengan Gereja Katolik. Bahkan, sekolah ini belasan tahun lalu sempat disangka menjalankan misi misionarisme. Ini adalah hari terakhir para siswa muslim melaksanakan pesantren kilat pada Ramadan 1438 H.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap Ramadan, mereka difasilitasi oleh sekolah untuk melaksanakan pesantren kilat. Tahun ini, siswa muslim melakukan pesantren kilat selama tiga hari. Sementara, siswa non muslim, seperti Kristen, Budha dan Penganut Kepercayaan, menjalani hari perenungan untuk memperdalam ilmu agama.

Salah satunya adalah Lola Ika Riyanti. Dia adalah siswi kelas XI SMK Yos Soedarso. Ia tampak sigap membantu siswa lainnya memindahkan makanan dan minuman ke bak pikap dan kabin. Hari itu, dia turut membagikan makanan dan minuman untuk berbuka puasa bagi para pekerja jalanan. Lola sendiri adalah siswa beragama Kristen.

Ia mengaku antusias untuk turut berbagi kebahagiaan dengan siswa muslim lainnya. Tiga hari penuh, dia pun mengikuti hari-hari renungan, bersamaan dengan siswa beragama muslim lainnya yang tengah mengikuti pesantren kilat

"Kita juga turut membantu, karena kita di satu organisasi. Kan nanti ada yang buka bersama juga di sekolahan juga. Untuk para guru dan staf. Kemudian kita menyebarkan juga di jalan. Kita ikut. Kalau perbedaan agama itu tergantung diri sendiri ya. Kita menanggapinya bagaimana. Kalau kita nyaman, dan teman kita juga merasa nyaman, ya tidak ada yang sirik-sirikan, jadinya akur," kata Lola kepada Liputan6.com.

Dua kali ini, dia mengikuti kegiatan membagi makanan untuk berbuka puasa. Bahkan, ia pun, menjelang Perayaan Idul Fitri nanti, akan turut membagikan zakat kepada masyarakat. Itu karena, bagi dia, kebahagiaan adalah universal dan milik semua umat manusia.

"Kebetulan masuk ke organisasi OSIS ini kan. Kita juga kerjasama. Entah itu ada kegiatan yang mengacu kepada Agama Muslim ataupun Non-Muslm. Walaupun kita berbeda agama, tetapi kita tetap kerjasama, saling melengkapi. Kalau pesantren kilat itu kan biasanya ada dua sesi. Yang untuk muslim dan non muslim. Kalau yang non muslim biasanya ada ruangan tersendiri. Di situ, kita juga sama-sama melakukan kegiatan pendalaman iman, agama juga," jelasnya.

Sementara, siswa lain yang pula beragama Kristen, Widya Prastika mengaku bangga bisa menjadi bagian bangsa Indonesia yang tengah berbahagia di bulan Ramadan. Setidaknya, dia turut berbagi kebahagiaan dengan cara membagikan makanan kepada pekerja jalanan, seperti abang becak, tukang ojek, tukang parkir dan pedagang kaki lima kecil.

"Ya buat saya sendiri sih senang. Juga bangga. Karena apa ya, bisa membagi, bagi satu sama lain, walaupun ke beda agama. Tetapi tetap seneng kok. Bisa menghargai satu sama lain. Bisa saling mengasih,” tutur Widya.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Berbagi dan Bertoleransi Antar Sesama

Lola, Widya, dan siswi muslim Dian Safitri, adalah potret anak siswa berbeda agama yang mampu mengejawantahkan toleransi. Saban hari, mereka berbagi catatan, kerap pula bersilang pendapat. Akan tetapi, persengketaan itu tak pernah sekalipun menjurus isu Sara.

Mereka tampak antusias membagikan makanan dan minuman untuk berbuka puasa ke beberapa titik di Kecamatan Sidareja hingga Kecamatan Cipari. Mulai dari Stasiun, terminal, perempatan hingga lokasi-lokasi ramai para pekerja jalanan. Dengan formasi tim lain yang juga berbeda agama, mereka membagikan sekira 700-an paket makanan dan minuman untuk berbuka puasa.

Soal kegiatan pada Ramadan ini, Pelaksana Tugas Kepala SMK Yos Soedarso, Didik Gunawan mengatakan, pesantren kilat adalah medium untuk menasbihkan, bahwa sekolah benar-benar membebaskan siswanya untuk memeluk agama apapun. Sekolah, menurutnya, sejak awal berdiri benar-benar membebaskan siswanya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

Dia menjelaskan, kegiatan itu wajib dilaksanakan tiap tahun pada bulan Ramadan. Kegiatan selalu diawali dengan pesantren kilat, pembagian makanan untuk umat muslim yang berbuka puasa, dan pengumpulan zakat.

Hal itu dibuktikan dengan fasilitas sekolah yang menunjang peribadatan kaum muslim, seperti musala sekolah. Musala sekolah berimpitan dengan fasilitas ibadah agama lainnya.

"Dan itu membawa pesan bahwa Indonesia memang ditakdirkan beragam dan didirikan oleh founding father yang berasal dari berbagai latar belakang ras, suku dan agama," tandas Didik.

Sekolah juga membolehkan, bahkan menganjurkan, agar guru perempuan dan siswa muslimah mengenakan kerudung. Meski pemakaian atribut keagamaan ini juga sempat ditentang oleh kalangan Katolik sendiri.

"Makanya kita, kalau istilahnya, kalau sekolah katolik itu. Contoh, memakai jilbab. Kita sempat dikritik juga (dari kalangan Katolik). Tetapi Romo Carollus bersikeras, ‘Saya hanya memandaikan masyarakat. Tidak mau melihat itu (Agama)’. Kita memberikan kebebasan kepada teman-teman guru, siswa yang berjilbab," ungkapnya.

Didik mengakui, pada awal pendirian, sekolah ini sempat dituduh menyebarkan agama Katolik karena berada di naungan Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) yang didirikan oleh Romo Carollus Burrows dari Gereja Katolik Cilacap. Namun, perlahan tuduhan itu luntur dengan sendirinya ketika SMK Yos Soedarso terbukti mampu menunjukkan bahwa tak ada.

"Kita sudah sosialisasikan bahwa ini bukan sekolah Katolik. Itu pun sempat ditentang. Banyak hambatan seperti itu. Hambatannya seperti, ‘Jangan sekolah di sini’. ‘Oh, kalau di sini sekolah katolik. Nanti akan dijadikan Katolik’. Akhirnya, kita saja untuk meyakinkan masyarakat saja susah. Wong sekitar saya saja, Mas. Punten ini, meskipun tidak mampu dan sebagainya. Saya ingin mengangkat anak-anak itu. Saya mencarikan beasiswa untuk disekolahkan di sini. Itu saja orang tua masih takut," ujarnya.

Saat mendirikan masjid sekalipun, SMK Yos Soedarso masih dituduh hanya kamuflase sekolah untuk menutupi misionarisme. "Dulu kita itu mendirikan musala itu sempat dituduh. Lah, itu hanya bohong-bohongan. Nutup-nutupi. Tetapi kita tetap mendirikan dan menyediakan tempat ibadah. Wong nyatanya ya terwujud. Sudah jadi, sempat juga dipertanyakan, bikin musala kok tidak di depan. Ya kita jawab, kan ada aturan, kan sudah ada gereja, masa berjejeran dengan Masjid?" tukasnya.

3 dari 3 halaman

Sekolah Dukung Kegiatan Rohis

Sang Ketua OSIS SMK Yos Soedarso yang kebetulan beragama Islam, Zainal Abidin, mengakui tak pernah sekalipun mendapat perlakukan tak adil ketika akan melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya. Bahkan, menurut dia, sekolah sangat mendukung kegiatan Rohani Islam (Rohis) yang menjadi salah satu kegiatan unggulan OSIS. Dia sendiri adalah Ketua OSIS SMK Yos Soedarso.

Tahun ini, di bawah kepemimpinannya, OSIS SMK Yos Soedarso melaksanakan berbagai peringatan hari besar Islam. Antara lain, Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad, Penyembelihan hewan qurban, pesantren kilat, pengumpulan zakat, buka bersama, bakti sosial, dan pembagian makanan untuk berbuka kepada pekerja jalanan di seantero daerah.

"Ya kalau kesannya bagus. Tiap tahun kita melaksanakan pesantren kilat. Kalau tahun ini, rencananya kita dimulai hari Kamis, Jumat dan Sabtu. Dan hari Sabtunya kita melakukan bakti sosial. Baksosnya itu berupa bagi-bagi makanan ke orang jalanan. Orang-orang di pinggir jalanan itu ya seperti tukang becak, pedagang kaki lima, dan sebagainya," ujar Zainal.

Pengurus YSBS yang juga Kepala Sekolah Definitif SMK Yos Soedarso, Parsiyan menegaskan SMK Yos Soedarso meski berafiliasi dengan Agama Katolik, niatan awalnya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan yang lain. Sekolah menampung siswa dari semua kalangan, bahkan memberikan beasiswa kepada masyarakat lemah meski bukan beragama Katolik.

"Sekolah kami didirikan adalah untuk ikut dalam ambil bagian untuk mencerdaskan anak bangsa. Tanpa melihat latar belakangnya. Bahkan, lebih mengutamakan kepada orang yang lemah. Kami bisa memberikan ke anak lulus itu minimal, kalau dia mengikuti dengan baik itu, delapan sertifikat," beber Parsiyan.

Menanggapi siswa muslim yang belajar di sekolah non-muslim, tokoh NU Cilacap berpengaruh, sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus KH. Muhammad Ahmad Hasan Mas’ud berpendapat boleh-boleh saja seorang muslim belajar kepada non muslim. Pasalnya, keilmuan duniawi adalah ranah yang mestinya bebas dari sekat agama atau golongan.

“Satu hal yang patut diapresisasi itu, bahwa Allah itu memberikan ilmu itu kan suci. Sementara manusia itu pada dasarnya fitrah. Ketika manusia itu diberi nur dan keilmuan, ‘khudzil 'ilma walau min fahmil Bahaiim’. ada kaidah arab, ‘Ambillah ilmu walau dari mulut hewan’,” jelas Kyai muda yang populer disapa dengan nama Gus Hasan ini.

Menurut Dia, Itu artinya pelajaran atau kelimuan kedunawian, seperti bercocok tanam, memelihara ikan, otomotif, komputer dan sebagainya yang diajarkan di SMK Yos boleh diikuti oleh umat muslim. Sebab, pada dasarnya, ilmu adalah murni. Sementara manusia, terlepas dari apapun agamanya, adalah fitrah. Ilmu, menurut dia, tak bisa distigmasisasi pada agama tertentu.

"Melihat wacana yang lebih luas, bahwa kita butuh membangun dunia ini, membangun umat ini, membangun Indoneia ini, kita butuh kebersamaan. Saling sinergi. Apalagi sinergi dengan saling memberikan peluang. Saya kira, SMK Yos Soedarso itu sudah proporsional. Ketika di sini di Bulan

Salah satu hadis populer lain, menurut Gus Hasan adalah anjuran Nabi Muhammad SAW agar belajar sampai negeri Cina. Bagi dia, hadis tersebut merupakan pembenar bahwa muslim diperbolehkan menuntut ilmu di sekolah non muslim. Bahkan, dia pun mendorong agar iklim keterbukaan dan kesetaraan itu terus dibangun, sebab keberagaman adalah sebuah sunatullah atau hukum Tuhan. Namun itu tak boleh menjadi benih perpecahan dan alasan pertikaian.
 


 


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.