Liputan6.com, Jakarta - Elektabilitas Gubernur Jawa Tengah yang juga calon presiden dari PDI Perjuangan Ganjar Pranowo, tercatat mengalami penurunan berdasarkan survei opini publik Litbang Kompas 29 April-10 Mei 2023.
Pada jajak pendapat tersebut, elektabilitas Prabowo Subianto unggul dengan 24,5 persen, sedangkan Ganjar Pranowo menurun dan berada di posisi kedua dengan 22,8 persen.
Baca Juga
Survei yang baru saja dirilis Litbang Kompas tersebut menyerupai hasil yang sudah lebih dahulu dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 19 Mei 2023.
Dalam hasil surveinya, LSI Denny JA juga menemukan Prabowo Subianto kini elektabilitasnya berada di urutan pertama dan unggul atas Ganjar Pranowo di urutan kedua.
Dalam hasil surveinya, Kompas memberi alasan dukungan Ganjar Pranowo menurun karena blunder komentar yang dihubungkan oleh netizen ikut menyebabkan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
Namun, LSI Denny JA menggali lebih dalam penyebab tambahan kenapa dukungan kepada Ganjar Pranowo mengalami penurunan. Ganjar Pranowo dinilai gagal untuk isu kemiskinan di Jawa Tengah.
Selain itu, LSI Denny JA juga mengungkap penyebab lain elektabilitas Ganjar Pranowo menurun adalah karena dia merupakan petugas partai yang dideklarasikan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Guru Besar di Monash University itu mengatakan, apa yang dapat diharapkan dari calon presiden yang populer di ruang publik, tapi tidak paling berkuasa di lingkungan elite negara.
“Salahkah menyatakan capres itu, lalu menjadi presiden, sebagai petugas partai? Jawaban singkat, sedikit benarnya, banyak salahnya,” ujar kata pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dalam keterangannya, Rabu (24/5/2023).
Menurutnya, sedikit benar karena capres memang diajukan oleh partai politik atau koalisi partai politik dan aturannya memang seperti itu. Namun, hal itu tidak berarti bahwa presiden adalah petugas partai.
Seolah-olah Bawahan Partai
Di sisi lain, sambung Denny JA, pernyataan tersebut salah karena kata petugas juga menyiratkan sang capres, yang kemudian menjadi presiden, seolah bawahan dari partai.
Jika begitu, pemberi tugas, yakni partai politik, memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan yang ditugaskan sebagai capres atau presiden.
“Padahal, partai politik tidak boleh posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga presiden dan presidennya. Tak ada dalam konstitusi, tak ada dalam tradisi politik yang sehat bahwa presiden harus bertanggung jawab kepada partainya,” ungkap Denny JA.
Denny JA menegaskan, dalam menjalankan pemerintahan dan mengambil keputusan sehari-hari, seorang presiden tak harus direstui dulu oleh ketua umum partainya. Sehingga, membuat presiden tampak sebagai petugas partai, dapat dianggap merendahkan lembaga presiden.
Selain itu, Denny JA juga mengatakan, pada Pilpres 2024, status Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto menjadi tidak sebanding. Jika Ganjar Pranowo hanya berstatus petugas partai, maka Prabowo Subianto adalah pendiri dan ketua umum partai politik.
Maka tak heran, kata Denny JA, jika untuk citra pemimpin yang kuat dan tegas, Ganjar Pranowo kalah dengan Prabowo.
“Pilpres masih sembilan bulan lagi. Banyak hal masih mungkin berubah. Jika publik semakin tersadar Indonesia kini memerlukan pemimpin yang kuat dan kesadaran itu meluas, capres yang menjadi petugas partai akan semakin tidak popular,” tutup Denny JA.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Advertisement