Sukses

Mampukah Abdullah Puteh Lolos?

Selain kasus pembelian helikopter dan pengadaan genset, Gubernur NAD Abdullah Puteh juga diduga terlibat berbagai kasus korupsi. Pengacara Puteh, O.C. Kaligis menilai, penanganan kasus kliennya sarat nuansa politis.

Liputan6.com, Jakarta: Nasib Abdullah Puteh sebagai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam di ujung tanduk. Berbagai kasus korupsi seolah mengepung dan siap menghancurkan perjalanan karier Puteh. Sebut saja kasus pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia senilai Rp 12,6 miliar yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari salinan dokumen yang dibuat Tim Kejaksaan Tinggi Aceh terungkap bahwa pembelian helikopter menyimpang dari pedoman pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2002. Dari total harga helikopter, Gubernur Aceh membebankan Rp 9,1 miliar kepada seluruh kabupaten di Aceh. Bahkan, Puteh memotong langsung dana subsidi APBD Tingkat I kepada kabupaten tanpa persetujuan DPRD Tingkat II.

Kejanggalan kian terlihat ketika Puteh menandatangani akta jual beli helikopter pada 26 Juni 2002. Padahal, Puteh baru menunjuk ketua panitia pengadaan helikopter pada tiga hari kemudian. Disebutkan pula PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) adalah agen tunggal dari perusahaan pembuat helikopter MI-2 yakni Rostov Mil Rusia. Padahal, berdasarkan catatan Rostov Mil, PT PPM bukanlah satu-satunya agen mereka di Indonesia. Keanehan lain adalah ketika Presiden Direktir PT PPM Bram Manoppo diminta meneken kembali akta jual beli helikopter pada 10 Juli 2002.

Tim Kejati Aceh juga melaporkan bahwa harga Helikopter MI-2 yang dibeli Puteh dan TNI Angkatan Laut terdapat perbedaan yang mencolok yakni mencapai Rp 6,5 miliar. Sekretariat Daerah Provinsi NAD juga mencatat harga helikopter hanya Rp 11,25 miliar. Dari total itu, Gubernur Aceh baru membayar Rp 8,7 miliar. Padahal, alat transportasi udara itu sudah berada di Aceh selama hampir 10 bulan [baca: Gubernur NAD Kembali Diperiksa KPK].

Saat ini, Puteh juga diperiksa Markas Besar Polri sehubungan kasus pengadaan genset senilai Rp 30 miliar [baca: Abdullah Puteh Akan Diperiksa di NAD]. Bau korupsi dalam pengadaan genset bermula saat Puteh menunjuk William Taylor menjadi pemasok listrik ke Perusahaan Listrik Negara (PLN), September 2002. Duit untuk membeli genset diambil dari anggaran pemerintah daerah yang ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh. Atas perintah Puteh, dana Rp 14 miliar sudah dicairkan untuk William.

Namun, kemudian Puteh juga memerintahkan William memberikan pinjaman Rp 3 miliar ke kas Seulawah Air. Alasannya, Seulawah Air membutuhkan bantuan dana menyusul krisis keuangan yang dialami perusahaan penerbangan milik Pemda Aceh itu. Belakangan diketahui, utang Seulawah Air baru dibayar Rp 90 juta. Sedangkan sisanya tak jelas nasibnya. Ditambah lagi, hingga kini Seulawah Air tak kunjung beroperasi.

Jejak korupsi pun terlihat ketika Gubernur Aceh meminta direksi Seulawah Air menyetor uang hasil penjualan tiket pesawat ke rekening pribadi Puteh. Ditemukan pula indikasi korupsi Puteh dalam surat yang dikirim Komisaris Utama Seulawah Air Usman Iskandar kepada investor asal Malaysia yaitu Sapuan Group. Dalam surat itu, Usman meminta Sapuan Group menyetor uang penyertaan modal ke rekening pribadi Puteh.

Persoalan juga muncul ketika sebagian dari 25 mesin genset yang beroperasi bermasalah. Bahkan, dua genset terbakar akibat klep oli jebol. Buntutnya, pasokan listrik untuk PLN kerap terganggu. Belakangan diketahui, genset sudah berusia belasan tahun saat dioperasikan. Besar dugaan, Puteh membeli genset dalam keadaan bekas pakai. Sejauh ini, William ditahan di Mabes Polri dan dinyatakan sebagai tersangka kasus penyelewengan dana pengadaan genset. Dan kini Polri membidik Puteh sebagai tersangka lain.

Masih banyak dugaan korupsi yang mengarah kepada Puteh. Salah satunya adalah dugaan penggelembungan dana proyek Kapal Cepat Pulo Rondo senilai Rp 21 miliar. Indikasi mark-up terlihat dari mahalnya harga komponen kapal. Misalnya, dalam kontrak disebutkan harga pintu yang terbuat dari alumunium mencapai Rp 11 juta per buah. Padahal, harga pasaran di Banda Aceh paling tinggi hanya Rp 500 ribu. Dalam kontrak juga disebutkan kapal akan memakai karpet dari bahan beludru antigores seharga Rp 600 ribu per meter. Namun, yang terpasang ternyata karpet biasa yang harganya tak lebih dari Rp 50 ribu per meter.

Kasus lain adalah dugaan korupsi dalam proyek pengadaan mesin cetak untuk Dinas Informasi dan Komunikasi Aceh, dua tahun silam. Berdasarkan laporan Kejati Aceh, jika Puteh terbukti korupsi, negara dirugikan Rp 4,2 miliar. Daftar dugaan korupsi yang dilakukan Puteh tak berakhir di situ. Selama tahun ajaran 2002-2003, Puteh diduga menggerogoti 60 persen dana pendidikan senilai Rp 1,4 triliun. Dana pendidikan untuk anak di daerah konflik sebesar Rp 10 miliar, misalnya, sekitar 90 persen menguap tak jelas. Anehnya lagi, meski sudah divonis bersalah, hingga detik ini Abu Bakar Adam, pemimpin proyek pendidikan untuk anak di di daerah konflik, masih bebas.

Sebagian kasus yang membelit Puteh tak akan terungkap seandainya Muchtar Lutfi memilih bungkam. Saat masih bertugas di Badan Pengawasan Daerah (Bapawasda) Aceh, Lutfi adalah auditor yang paling getol melaporkan penyimpangan keuangan di berbagai instansi di Provinsi Serambi Mekah. Lutfi-lah yang membongkar penyelewengan dana pendidikan oleh Puteh.

Awalnya, Lutfi tak yakin keterlibatan Puteh dalam berbagai kasus korupsi di berbagai instansi di Serambi Mekah. Baru setelah mengetahui Puteh meneken surat mutasi dirinya, Lutfi yakin Gubernur Aceh terlibat dalam berbagai kasus yang ia bongkar. Lutfi kemudian menolak mutasi yang membuatnya tak menerima gaji sejak awal tahun ini. &quotMereka menganggap saya itu bisa sangat membahayakan kelanggengan korupsi sistemik yang di sini biasa disebut korupsi berjamaah,&quot kata Lutfi. Sejauh ini, ia hidup dari bantuan saudara dan rekannya yang bersimpati atas perjuangan Lutfi.

Lutfi mengaku upaya menelisik kebobrokan pemerintah daerah yang dikendalikan Puteh juga dibantu berbagai lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya adalah Solidaritas Gerakan Antikorupsi Aceh (Sorak) dan Solidaritas Masyarakat Antikorupsi Aceh (Samak). Kedua lembaga yang sebagian besar dikelola oleh anak muda ini membantu Lutfi mengumpulkan bukti keterlibatan Puteh.

Keberanian pers lokal membeberkan korupsi yang diduga melibatkan orang nomor satu di Aceh juga patut dipuji. Sejak 2002, dugaan korupsi Gubernur Aceh, anggota Dewan, dan pejabat tinggi daerah menjadi berita utama tabloid lokal seperti Lacak, Kontras, dan Modus.

Di laih pihak, Puteh sendiri yakin bahwa dirinya tak bersalah. Kuasa hukum Puteh, O.C. Kaligis menilai, penanganan kasus kliennya lebih bernuansa politis. Buktinya desakan memecat Puteh lebih menonjol daripada niat membuktikan benar tidaknya Puteh korupsi. &quotNuansa politiknya 99,9 persen,&quot kata O.C. Kaligis.

Sementara Ketua Dewan Etik Indonesia Corruption Watch Bambang Widjojanto menilai, penonaktivan Puteh bukanlah langkah politis karena masih dalam koridor hukum. Karena jika masih menjabat, dikhawatirkan Puteh menggunakan wewenangnya untuk menghambat penyidikan. Mengancam saksi, misalnya.

Masih sulit memang menebak akhir dari kasus Puteh. Namun, bola panas berada di tangan KPK. Kasus ini juga menjadi ujian terhadap komitmen Presiden Megawati Sukarnoputri memberantas korupsi. Apalagi, saat kampanye Pemilihan Presiden, Megawati pernah berjanji tak akan segan-segan memberhentikan sementara Puteh jika ditetapkan sebagai tersangka.(ZAQ/Tim Sigi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini