Sukses

Penelitian Inkrispena: Naiknya Status Industri Nikel Belum Disertai Pemulihan Hak Pekerja

Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) mengadakan diskusi terbuka sebagai peluncuran hasil penelitian berjudul “Menambang Nikel, Memungut Uang Receh”, Jumat (25/11).

Liputan6.com, Jakarta - Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) mengadakan diskusi terbuka sebagai peluncuran hasil penelitian berjudul “Menambang Nikel, Memungut Uang Receh”, Jumat (25/11).

Penelitian itu berfokus pada hak-hak pekerja pada industry nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Kajian ini merupakan hasil kerja sama Inkrispena di konsorsium Mind the Gap yang beranggotakan 11 organisasi dari 9 negara untuk mengidentifikasi kesenjangan tata kelola perusahaan-perusahaan dalam kerangka UNGPs Bisnis dan HAM.

Direktur Eksekutif Inkrispena, Y Wasi Gede Puraka, menjelaskan bahwa Morowali dipilih sebagai fokus penelitian karena perkembangan industri nikel paling pesat di Indonesia dan berpredikat sebagai Proyek Strategis Negara (PSN).

"Sayangnya, peningkatan status nikel dan sumbangan nikel pada pendapatan negara ini masih belum disertai penghormatan dan pemulihan hak-hak pekerja dan warga di wilayah terdampak operasi pengolahan hasil tambang," ujar Wasi Gede.

Lebih jauh, menurut Wasi Gede, bersama Mind the Gap, Inkrispena telah mengidentifikasi lima strategi yang biasa digunakan perusahaan dalam upaya menghindari kewajiban HAM mereka, yakni: membangun penyangkalan, menggunakan strategi hukum, mengganggu dan menyesatkan para pemangku kepentingan, melemahkan para pembela HAM termasuk serikat pekerja, dan memanfaatkan kekuasaan negara demi kepentingan perusahaan sendiri.

Secara khusus, imbuh Wasi Gede, strategi melemahkan serikat pekerja dan memanfaatkan kekuasaan negara telah digunakan perusahaan-perusahaan nikel di Morowali untuk menghindar dari kewajiban mereka untuk memenuhi hak pemulihan pekerja dan warga di daerah terdampak.

Sebagai tanggapan terhadap hasil penelitian ini, Linda Rosalina dari TUK Indonesia, menyatakan bahwa keleluasaan perusahaan-perusahaan besar untuk menghindari kewajiban penghormatan terhadap HAM ini diawali dengan abainya lembaga-lembaga pendanaan, baik nasional maupun internasional, terhadap kewajiban memeriksa due diligence dan praktek-praktek industrial perusahaan.

"Sebagai bagian dari Green Financing, lembaga-lembaga pendanaan haruslah turut menekan perusahaan-perusahaan besar agar senantiasa patuh terhadap kewajiban mereka menghormati HAM masyarakat," kata Linda.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rekomendasi

Wasi Gede memberikan rekomendasi dari hasil penelitian tersebut yakni membangun kerja sama antar serikat pekerja, organisasi masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi internasional.

"Pentingnya nikel bagi industri kendaraan listrik memberikan ruang lebih besar untuk sebuah kerja sama internasional yang lebih kuat, demi membangun penghormatan terhadap hak pekerja dan masyarakat di daerah terdampak industri nikel," ujar Wasi Gede.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.